Editorial Menjelang Final AFF Cup : Di Balik Fenomena Kiprah Tim Garudadi AFF Suzuki Cup 2010

“Indonesia!!! Dug-dug,dug-dug-dug!!”

“Gaaarudaaaa di dada kuuu. .. . . . “

Demam bola memang sedang melanda negeri kita tercinta,. Bagaimana tidak, timnas Indonesia yang notabene prestasinya biasa-biasa saja, tiba-tiba reputasinya meroket bak kembang api,. Tak dikira tak disangka, kemenangan demi kemenangan telah diraih dengan skor fantastis dan dramatis, bahkan Indonesia mampu memecah kutukan anti-menang dari Thailand,. Fans timnas merasa sangat terhibur sekaligus bangga, dengan penampilan bahenol permainan timnas yang “kurang lazim”,. Semua orang merasa antusias dan bersemangat, apalagi ditambah dengan munculnya idola baru semacam Irfan Bachdim dan Oktovianus Maniani menambah gegap gempita negeri ini, setidaknya dalam beberapa minggu ini,.








Sekedar mengingat memory, AFF Suzuki Cup 2010 mulai terangkat ke permukaan karena lawan pertama Indonesia adalah Malaysia, negara tetangga yang sering membuat “onar” di mata bangsa Indonesia, konflik yang sedang memanas menjadi bumbu khusus dalam pertandingan ini, dan bagaimana hasilnya?? Firman Utina dkk mencabik-cabik gawang Malaysia dengan 5 gol!! Saya sendiri masih setengah tidak percaya, bagaimana bisa timnas kita bermain secantik itu selama 90 menit?? But, it’s the real result!! Tapi dari pengamatan pribadi, saya beranggapan bahwa skor besar itu adalah karena faktor kiper cadangan tim Malaysia (entah siapa namanya,saya tidak tahu) yang amburadul dan awut-awut’an dalam menahan si kulit bundar. Pada pertandingan selanjutnya, Laos, Thailand, dan Filipina dipaksa merasakan “keras”-nya sepakan pemain kita. Tapi di pertandingan final leg 1??? Tau sendiri kan, bagaimana kita telah dibuat tak bisa tidur karena sedih dan kecewa, sampai-sampai snack yang saya siapkan untuk dinikmati selama menonton pertandingan, bungkusnya tak secuil pun terbuka,.

Sebelum berbicara lebih lanjut, saya ingin flash-back kondisi timnas kita beberapa tahun ini,. Kita semua tahu, prestasi Sepakbola Indonesia tidak se-“ganas” Bulutangkis, Angkat Besi, atau Dragon Boat,. Miris, memalukan, dan bikin badmood, itulah kira-kira apa yang didapat para suporter setiap usai pertandingan timnas dengan negara lain, bagaimana tidak? Permainan acak-acakan, blunder, umpan umpan panjang, kartu merah, perkelahian, dan fenomena lainnya, selalu ditampilkan,. Kita semua bosan menunggu, timnas tak kunjung bisa menampilkan permainan seperti yang sering kita tonton di TV-TV, timnas tak pernah meraih prestasi mengejutkan seperti Uruguay dan Ghana Di PD 2010 Afrika Selatan lalu, atau seperti timnas Irak yang meraih Piala Asia 2007 disaat perang masih melanda,. Tak heran jika para fans memimpikan prestasi besar yang diukir pada dekade ini,. Tapi mimpi dan harapan tersebut seakan-akan overload, terlalu penuh, sehingga setelah menang 5-1 atas Malaysia semua pihak menjadi buta dalam memaknai kemenangan tersebut, sebagai contohnya nama Irfan Bachdim yang dielu-elukan karena paras wajahnya, atau media yang lebay dalam menyajikan frekuensi berita timnas di AFF Cup 2010.

Jika anda mengikuti perkembangan timnas dalam beberapa tahun ini, mungkin tahun 2010 menjadi puncak kejayaannya,. Tahun-tahun sebelumnya, dari dua event yang selalu saya tonton (AFF Cup dan SEA GAMES), permainan kita memang menyebalkan dan mengundang cemoohan, walaupun saat itu kita bisa menembus babak final atau semifinal, tetapi bentuk permainannya sangat polygon alias tak karuan,. Kualitas pemain yang buruk, strategi yang ancur, temperament pemain, sampai suporter yang anarkis bercampur jadi satu,. Asal kita tahu, sudah banyak pelatih yang malang-melintang dalam dunia persepakbolaan nasional, Ivan Kolev, Peter Withe, Benny Dollo, merupakan nama-nama pelatih yang gagal memperbaiki citra sepakbola Indonesia,. Pemain-pemain timnas pun sudah banyak yang keluar-masuk, masih ingatkah anda dengan nama-nama seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Ilham Jaya Kesuma, Budi Sudarsono, Hendro Kartiko, Elie Aiboy, dan Ponaryo Astaman??

Ada satu event yang menarik perhatian saya, yaitu di Piala Asia 2007 saat Indonesia menjadi tuan rumah untuk Grup D yang berisi Arab Saudi, Korea Selatan, Bahrain, dan Indonesia. Pada pertandingan pertama Indo tampil mengejutkan dan berhasil menggasak Bahrain 2-1, tetapi pada pertandingan kedua, Indonesia kalah dramatis 1-2 dari Arab Saudi,. Pada saat itu kita sudah unggul 0-1, permainan kita dominan dan rapi, akan tetapi pada menit pertama babak kedua, kita bermain dengan 10 pemain setelah Ismed Sofyan diusir wasit, sejak menit itu lah pertahanan Indo dibombardir dan kebobolan 1 gol, usaha bertahan total untuk mengejar hasil imbang 1-1 akhirnya sia-sia setelah pada injury time gawang Indo kembali robek oleh sebuah tendangan bebas,. Efek temperament yang berujung petaka, padahal jika imbang 1-1 kita bisa sudah pasti lolos penyisihan grup mendepak Korea Selatan, nyaris bukan?

Di tengah kelamnya prestasi, beberapa tahun lalu muncul sebuah inisiatif diadakannya “pelatnas jangka panjang”, artinya semua pemain timnas digembleng selama beberapa bulan bersama-sama sebelum ikut suatu turnamen, ternyata revolusi inilah yang dulu menjadi kunci sukses kita meraih Medali Emas SEA Games 1991 di Manila,. Sebuah revolusi yang logis, karena kita bukanlah tim Jerman yang baru beberapa kali berkumpul latihan, sudah bisa menumpas Argentina 4-0,. Sekarang hasilnya bisa kita nikmati, nama-nama seperti Okto, Eka Ramdani, Tony Sucipto, Arif Suyono, merupakan hasil didikan timnas U-23 dan U-19 yang sekarang berhasil menembus skuad timnas senior,. Alternatif perekrutan pelatih sekelas Alfred Riedl juga dinilai tepat, dengan strategi permainan gaya eropa dari kaki ke kaki, kerjasama satu-dua yang manis, dan stamina pemain yang prima, mampu menorehkan nuansa baru bagi timnas. Langkah merekrut pemain hasil naturalisasi rasanya juga masih dalam batas wajar, kehadirannya juga tidak menenggelamkan bintang-bintang berdarah asli Indonesia,.

Sudah wajar bila supporter Indonesia menaruh harapan yang sangat besar pada timnas di AFF Cup 2010 ini,. Euforia kemenangan dikumandangkan setiap saat, tak ketinggalan pihak media yang mungkin anda juga setuju bahwa pemberitaannya terlalu dibesar-besarkan atau bahkan terkesan sombong, sampai-sampai kehidupan pribadi setiap pemain dikupas habis layaknya seorang pahlawan negara atau pemenang hadiah Nobel,. Kita seakan lupa bahwa bola itu bundar, turnamen belum selesai, apa pun bisa terjadi di lapangan,. Apa yang terjadi sekarang pada timnas kita hampir sama dengan timnas Belanda di EURO 2008, di Grup C lawan-lawan seperti Italia dan Prancis dibabat habis dengan 4 gol, tapi akhirnya? Di perempat final Belanda dipulangkan paksa oleh Rusia dengan 2-0,. Sekali lagi, turnamen belum selesai bung!! Harapan memang boleh, tetapi ingat bahwa sesuatu yang berlebihan pasti efeknya tidak baik,.

Efek dari Euforia yang berlebihan mulai dirasakan akibatnya saat Indonesia “dibaham” mALAYsia atau Malingsia (begitu lah kita menyebutnya),. Sedih, kecewa, marah, menangis, menjadi penutup dari “Euforia” tersebut,. Tragedi sinar Laser divonis menjadi kambing hitam, dan menurut pengamatan saya di status facebook yang membanjiri saat itu, yang nge-post secara emosional dan mencaci laser sebagian besar adalah kaum hawa yang menjadi penggila bola “dadakan”, apa artinya? Ingat, pertandingan langsung dihentikan, otomatis teror laser juga berhenti, setelah dilanjutkan lagi tidak tampak adanya teror lanjutan,. Laser tidak secara langsung menjadi penyebab bobolnya gawang Indonesia, gol itu bisa terjadi kapan saja, sekali lagi bola itu bundar,. Pelatih Alfred Riedl mengklaim bahwa laser bukan penyebabnya, melainkan kesalahan individu dan mental pemain,. Bukan bermaksud menyalahkan, tetapi saat itu memang bek kita Maman Abdurrahman terlalu percaya diri hingga akhirnya bola yang seharusnya disapu berhasil direbut oleh Idlan dan terjadilah gol,. Sejak gol pertama, mental kita runtuh, dan itu sangat fatal,. Faktor mental lebih dominan daripada faktor laser, hal itu yang kurang disadari oleh mayoritas supporter Indonesia,.

Ketinggalan 0-3 bukan akhir dari segalanya, sebuah liputan di Sp*rt7 pagi tadi bisa menjadi inspirasi, kisah Liverpool yang bisa mengalahkan AC Milan di Final Liga Champions 2005 setelah ketinggalan 0-3 di babak pertama,. Indonesia juga ketinggalan 0-3, bedanya kita punya 90 menit untuk mengejar ketinggalan, sedangkan Liverpool cuma punya 45 menit,. Semoga saja keajaiban yang diperoleh Liverpool juga berlaku untuk kita,amin,. ^^

Optimisme itu wajib, tapi harus bersyarat,. Dengan kondisi yang dialami sekarang, rasanya tidak salah kalau kita juga harus bersiap-siap menerima apa pun  dari hasil pertandingan,. Mari kita berdoa bersama demi hasil terbaik buat timnas Indonesia,. Toh kalau pun akhirnya kita kalah atau tidak juara, masih ada turnamen-turnamen  berikutnya, asal anda tahu saja, boleh dibilang timnas U-23 pimpinan Jajang Mulyana dkk dan timnas U-19 pimpinan Syamsir Alam dkk memberikan harapan prestasi yang lebih menjanjikan, so kita tunggu saja!! Ambil momen ini sebagai sebuah pelajaran yang sangat berharga,. Apapun yang akan terjadi malam ini, berjanjilah, bahwa “Garuda Akan Tetap Di Dada Ku. . . .!!!”

Sekian. . . . ^^ Ka-Chaw!!!

Pekalongan, 29 Desember 2010

No comments:

Powered by Blogger.