Jalan Ksatria Seorang Karna

Karna
Dalam jagad pewayangan, Karna adalah simbol kezaliman sekaligus keluhuran. Kezaliman karena dampak yang ditimbulkan oleh eksistensinya, keluhuran karena jalan yang ditempuh untuk mencapai kejayaannya.
Lahir sebagai “anak yang terbuang”, Karna ditakdirkan hidup sengsara. Ibunya, Kunti, tak mampu menahan beban malu akibat melahirkan seorang anak hasil ‘hubungan gelap’ dengan Dewa Surya. Bayi Karna yang titisan dewa, dibuang ke sungai yang kemudian ditemukan oleh seorang kusir kerajaan bernama Adirata. Bayi Karna diasuh hingga dewasa olehnya, di lingkungan rakyat jelata. Padahal jika tidak dibuang, Karna bakal menjadi anak bangsawan yang disegani. Tapi takdir menuliskan untuk merenggut segala harkat dan martabatnya dengan hanya menjadi anak seorang kusir kereta.
Meskipun dibesarkan oleh keluarga kusir yang serba kekurangan, Karna mempunyai impian yang hampir mustahil baginya, yaitu menjadi prajurit kerajaan. Dia memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai murid Guru Drona, guru dari para pangeran Kerajaan Hastinapura (Pandawa dan Kurawa). Namun Guru Drona menolaknya menjadikan murid karena kelas yang dibuka Guru Drona adalah kelas ekslusif, khusus untuk bangsawan kerajaan. Karna mendapatkan sakit hatinya yang pertama, akibat rendahnya kasta seorang anak kusir. Bisa dibayangkan bagaimana frustasinya Karna saat itu.

Hasrat Karna untuk menjadi seorang prajurit sangat besar, hingga dia berinisiatif untuk mencari guru lain, yaitu Parasurama, yang merupakan guru dari Guru Drona. Parasurama yang hanya menerima murid dari golongan brahmana, tertipu oleh Karna yang pura-pura menyamar menjadi brahmana. Di sinilah dia memperlihatkan sikap tak pernah menyerah demi impian terbesarnya, sekaligus menghalalkan segala cara untuk meraihnya.
Setelah menjadi ksatria utama nan luhur, dia kembali ke Hastinapura dan kebetulan ikut menyaksikan pertunjukan adu kekuatan antar pangeran Kerajaan. Arjuna yang keluar sebagai pemenang, tiba-tiba ditantang oleh Karna. Di sinilah Arjuna menampilkan arogansinya dengan menolak mentah-mentah tantangan Karna, dengan alasan Karna bukanlah golongan bangsawan. Sehingga Karna mendapatkan sakit hatinya yang kedua. Dia mengutuk nasibnya yang berasal dari rakyat jelata (Sudra).
Kesempatan ini dimanfaatkan betul oleh Raja Duryudana. Dia menganugrahkan kenikmatan yang teramat banyak untuk Karna, yaitu diangkatnya menjadi pemimpin di Kerajaan Awangga/Angga. Otomatis status sosialnya naik menjadi bangsawan. Atas kebaikan Duryudana-lah, Karna bisa memiliki kesempatan untuk membalas sakit hatinya. Di sinilah puncak kejayaan dari seorang Karna, dia mendapatkan semua yang menjadi impiannya. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dia terperangkap dalam permainan Duryudana. Duryudana mau memberikan segala hal kepada Karna karena itu merupakan investasi bagi kepentingannya kelak. Duryudana membuat Karna merasa berhutang budi, sehingga sebagai seorang ksatria luhur Karna merasa berkewajiban membalas kebaikan tersebut.
Dalam perang Bharatayudha, Karna dengan keteguhannya memutuskan untuk membela Kurawa, dengan alasan sebagai bentuk balas budinya kepada Duryudana. Selain itu, dengan memihak Kurawa maka Karna bisa membalas kesombongan Arjuna tempo hari. Karna berperang sepenuh hati demi Negara yang selama ini memberikan kemuliaan dan kehormatan kepadanya. Karna sadar bahwa pihak Kurawa yang dibelanya adalah pihak yang salah, tetapi demi dharma baktinya kepada Negara, apapun akan dia lakukan, termasuk melawan kebenaran.
Aham Sharma as Karna "Mahabharat"
Sehari sebelum perang dimulai, Karna menunjukkan kebesaran jiwanya dengan melepaskan anting dan baju zirah, yang merupakan pemberian Dewa Surya ayahnya. Dengan anting dan baju zirah itu, Karna tidak mempan oleh senjata apapun. Karna bermaksud bertarung dengan fair di medan perang, dengan meninggalkan unsur ke-dewa-annya.
Di medan perang, Karna menjadi bencana bagi Pandawa. Diantara korban kehebatan Karna adalah Abimanyu dan Gatotkaca. Dua ksatria penerus keturunan Pandawa itu harus tewas di tangan Karna. Apalagi Abimanyu yang tewasnya dikeroyok.
Hidup Karna berakhir ketika hari dimana dirinya harus berduel dengan Arjuna. Di atas kertas, Karna bisa saja membunuh Arjuna. Namun sudah saatnya dosa-dosa Karna dibalas dengan karma. Keretanya terperosok dan semua ilmunya hilang dari ingatan. Dalam situasi inilah Arjuna bisa membunuh Karna yang sedang tak berdaya.
Ketika Arjuna sudah merentangkan busurnya, Karna memprotes keras atas sikap curang Arjuna, dia tidak terima kalau harus mati dalam keadaan tak memegang senjata. Saat itu pula, Krisna, memberi wejangan kepada Karna tentang semua dosa-dosanya dan alasan kenapa dirinya harus mati di peperangan itu. Karna tersadar dan menangis, dia merasa hidupnya sia-sia saja dan hanya menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Di tengah keterpurukannya, Karna bertanya kepada Krisna “Apakah kehebatanku tidak mendapat pengakuan dari siapapun?”
Dengan bijak Krisna menjawab, “Bahkan kami harus memanfaatkan kesempatan seperti ini untuk membunuhmu, bukan kah ini sebuah bukti atas kehebatanmu?”
Karna menyambut jawaban itu dengan tangis haru. Dia juga menerima kematiannya dengan ikhlas. Senyum diwajahnya masih mengembang ketika panah arjuna menembus lehernya. Konon padang kurusetra yang menjadi tempat peperangan, seakan ikut berduka atas kepergian salah satu ksatria paling hebat di dunia pewayangan.
Rasa sakit, rendah diri, dan terpinggirkan yang dialami Karna sebagai seorang rakyat jelata, berhasil dia ubah menjadi penuh kehormatan dan kekuasaan, dia memulai semuanya dari nol. Dia membuktikan pada dunia saat itu, bahwa impian paling besar bisa diraih oleh siapapun. Rasa patriotisme dan keteguhannya memegang prinsip, menjadikannya seorang ksatria yang disegani. Kejayaan yang diperolehnya, runtuh karena masalah ketidakjujuran dan dendam semata. Itulah jalan ksatria seorang Karna.


No comments:

Powered by Blogger.