Berdamai denganmu, Jakarta
Seingatku, dulu aku
nggak pernah kepikiran untuk menetap dan bekerja di sini, di Jakarta. Selama 4
tahun kuliah di Bogor yg jaraknya ‘hanya’ 60 Km dari Jakarta, jujur saja aku
jarang mengunjungi kota ini. Paling sesekali, atau hanya lewat. Itu membuatku
BUTA tentang Jakarta. Di dalam pikiranku, nanti aku bekerja di luar daerah, luar
pulau, tapi bukan di pedalaman, sepertinya seru. Menikmati suasana yang
tentram, sejuk, dan tenang. Pagi hari, buka jendela bisa merasakan udara segar.
Berangkat ke tempat kerja dengan santai. Sayang, semua itu hanya sebatas
bayangan, dan keputusan sudah aku ambil.
Awalnya tidak mudah
untuk membuat diri ini kerasan. Udara yang panas, macet dimana-mana, biaya
hidup yang jauh lebih tinggi. Tapi lama-lama terbiasa juga. Sebagai anak rantau
dari ‘kampung’, sedikit ada rasa bangga tinggal di tempat dengan peradaban
tertinggi di negara ini. Waktu masih mahasiswa, jika ke Jakarta, aku masih terpesona
dengan pemandangan gedung-gedung yang berbaris menjulang. Tempat-tempat seperti
Bundaran HI, Mega Kuningan, Semanggi, Cawang, Tanah Abang, dulu cuma bisa aku dengar
namanya via siaran lalu lintas di berita.
Dari segi kultural, aku
mengalami fase lag yang lebih parah. Dulu selama di Bogor aku sempat ragu, “Emang
rokok itu seberapa keras sih lakunya?” Wow, di sini, aku tersadarkan kenapa
industri rokok nggak bakal mati. Bahkan, wanita / cewek / ibu-ibu yang merokok,
bisa dijumpai dimana-mana. Menyangkut ibadah, aku sudah terbiasa melihat orang
yang sholatnya bolong-bolong, tapi kemudian aku shock ketika mendengar beberapa
orang yang terang-terangan tidak mengakui Tuhan.
Mau tidak mau, suka
tidak suka, aku harus terpapar dengan gaya hidup khas metropolitan. Hedonisme
itu sudah biasa, sekulerisme adalah common sense, walau masih dalam level yang
rendah. Aku jadi teringat kuliah Pendidikan Agama Islam sewaktu masih TPB-IPB,
yang diajarkan di Bab pertama adalah Islam sebagai Way of Life. Dulu aku tidak
terlalu mengerti kenapa itu dijadikan sebagai Bab pertama, dan dosennya
berkali-kali mengulang penjelasan. Ternyata pemahaman ini adalah dibangun dari pengalaman
empiris, karena realitanya banyak yang menempatkan agama cuma sebagai label
saja. Aku bersyukur dulu kuliah di IPB, berkat lingkungan kampusku yang ‘sedemekian
rupa’, aku bisa lebih tangguh untuk membentengi diri dari hal-hal negatif.
Saat ini, proses
mendamaikan diri dengan Jakarta, terus berlanjut. Hanya soal waktu saja, aku
bisa menerima Jakarta seutuhnya. Semoga dalam waktu yang bersamaan, aku juga
bisa menerima kamu seutuhnya, kamu, iya kamu.
Berdamai denganmu, Jakarta
Reviewed by Unknown
on
8/23/2015 11:11:00 AM
Rating: 5