[Cerpen] Tahta Norinaga
Pedang
itu terhunus ke depan. Logamnya mengkilat terkena cahaya bulan. Terlihat bercak
merah melumuri bagian tajamnya, mengalir dan sesekali menetes ke tanah. Dua
telapak tangan menggenggam erat gagang pedang. Eiji, sang pemilik pedang, menatap
tajam penuh amarah ke arah orang yang berdiri di depannya. Api seakan menyala
dari bola matanya, menguapkan hawa dingin di tepi jembatan itu.
“Kau
marah sekali, Eiji?” Orang itu memulai percakapan, atau lebih tepatnya
basa-basi. Wajahnya menyeringai penuh kelicikan. Eiji tidak merespon, hanya dengusan
napas terengah-engah yang terdengar. Matanya tetap menatap tajam.
“Norinaga
membutuhkan sosok yang kuat dan berani. Dan orang tua itu sangat menyedihkan,
terbuai dengan kesetiaan palsu dari orang-orang di sekitarnya.”
“Diam
kau pengkhianat!! Aku tidak butuh alasanmu!” Eiji berteriak kencang seraya
memejamkan matanya, mencoba menepis perasaan sedih yang bercampur dengan marah.
Genggaman pedangnya mulai melemah, wajahnya meringis. Eiji mulai kehilangan
kendali atas dirinya sendiri. Orang dihadapannya menyunggingkan senyum
kemenangan.
“Eiji.
. . Kau orang yang naif. Kau sendirian Eiji, sedangkan aku punya segalanya.”
Suasana
menjadi semakin hening dan mencekam. Bulan yang sejak tadi bersinar,
perlahan-lahan meredup dihalangi awan tipis. Dari arah timur, gumpalan awan
gelap bergerak menggulung menutupi langit, diiringi petir-petir kecil. Istana
Norinaga terlihat muram di belakang sana, bangunan megah nan menjulang itu
terlihat semakin tua dan ringkih. Kejayaannya sudah termakan zaman, pesonanya
sebagai penguasa Jepang Selatan semakin memudar.
Di
tepi jembatan itu, belasan tubuh bergelimpangan, sebagian besar sudah menjadi
mayat, sedangkan sisanya tinggal menunggu waktu saja, sekarat. Tepat di
belakang Eiji, tergeletak sesosok mayat dengan dada robek. Darah membasahi
seluruh pakaian mayat itu. Darah itu pula lah yang membasahi pedang Eiji saat
ini.
“Aku
beri kau pilihan, ikuti aku, atau mati. Sederhana saja.”
Eiji
masih terdiam. Dia berusaha sekuat tenaga mengumpulkan sisa-sisa keyakinannya
yang tercerai-berai. Terbayang di pikirannya wajah Kaisar, betapa kasihannya orang
tua itu jika melihat apa yang sekarang terjadi. Belum hilang bayangan wajah
Kaisar, kini muncul bayangan wajah Putri Aoki, gadis itu bisa saja terancam
jika tidak mau bergabung dalam pengkhianatan ini.
Sisa bulir
darah kembali jatuh dari pedang Eiji. Sementara itu, tumpukan awan tebal makin sempurna
menutupi lingkaran bulan.
***
Malam
hari sebelumnya.
“Kau
tidak apa-apa, Tuan Putri?” Eiji berlutut seraya mengguncang pelan kedua pundak
Putri Aoki. Tubuh Putri Aoki hanya bisa bersimpuh tak berdaya, jiwanya masih
kalut, terlihat dari tatapannya yang kosong. Dia baru saja menyaksikan
bagaimana Ayahnya ditikam berkali-kali hingga tewas.
“Eiji,
cepat kau ikut kejar penyusup itu!” Ryusei setengah berteriak panik. Eiji
mengangguk dan segera meloncat keluar dari jendela kamar Kaisar, menyusul para
pengawal untuk mengejar penyusup yang baru saja kabur.
Ryusei
sejenak memperhatikan Putri Aoki, tidak terlihat ada luka fisik padanya.
Setelah itu Ryusei mengumpulkan beberapa pengawal istana, mengistruksikan
beberapa hal.
“Dengar,
aku ingin orang luar tidak tahu bahwa Kaisar mati karena dibunuh. Untuk
sementara, perketat penjagaan istana, tambah pengawal di semua pintu ruangan,
dan segera urus jasad Kaisar.”
“Baik
Tuan Muda.” Kepala pengawal menjawab perintah Ryusei dan segera berlari
meninggalkan kamar Kaisar.
Ryusei
berusaha untuk tenang walaupun pikirannya dipenuhi kecemasan. Sementara itu,
Putri Aoki tiba-tiba histeris, berlari merengkuh jasad Kaisar, menangis
sejadi-jadinya
***
Keesokan
harinya, istana diliputi suasana berkabung yang amat dalam. Upacara pemakaman
Kaisar baru selesai dilakukan. Tidak seperti lazimnya, pemakaman dilakukan
begitu tertutup tanpa mengundang tamu dari klan-klan sekutu. Setelah selesai
pemakaman, Ryusei memanggil Eiji ke ruangannya.
“Eiji,
kau sempat bertarung singkat dengan penyusup itu, apa pendapatmu?”
“Dia
bukan samurai biasa, Tuan. Aku serang dia dengan kecepatanku, tapi dia masih
bisa menangkisnya. Setelah itu dia melarikan diri.”
“Dia
pasti juga sangat lihai dalam pekerjaan ini, sejauh ini tidak ada jejak darinya
yang bisa kita temukan.” Ryusei sudah hampir putus asa mencari tahu siapa
penyusup yang telah menikam ayahnya, atau setidaknya berasal dari mana, musuh,
klan sekutu, ataukah kelompok pemberontak.
“Menurutku
belum tentu penyusupnya benar-benar lari, Tuan Muda.”
“Apa
maksudmu Eiji?” Ryusei memicingkan matanya menatap Eiji. Seorang prajurit
menghampiri Ryusei dan berlutut di depannya. “Tuan Muda, rombongan Guru Genta
dan pasukannya sebentar lagi tiba di istana.”
“Bagus,
segera siapkan pertemuan untuk membahas kejadian ini, undang Guru Genta dan
semua Jenderal.”
“Baik,
Tuan Muda.” Pengawal itu pergi meninggalkan Ryusei.
“Maaf
Tuan, apakah aku diundang ikut pertemuan itu?” Tanya Eiji.
“Tidak
perlu Eiji, lebih baik kau menjaga adikku seharian ini.”
“Tapi
Tuan Muda, barangkali aku bisa membantu mencari pelakunya.”
Ryusei
tersenyum lalu menepuk bahu Eiji, “Lakukan saja tugasmu, Eiji. Setelah Kaisar
tiada, satu-satunya orang yang butuh dilindungi adalah Putri Aoki.” Ryusei memberi
isyarat agar Eiji segara meninggalkan ruangan.
***
Putri
Aoki duduk di pinggir kolam dengan takzim, tangannya sedang menabur pakan untuk
ikan-ikan kesayangannya. Dari raut wajahnya, sepertinya dia sudah lebih tenang,
tidak ada bekas tangisan histeris semalam.
Putri
Aoki masih sangat muda. Wajahnya cerah, senada dengan kulitnya yang putih
bersih. Alisnya tipis, menaungi matanya yg bersudut agak tajam. Rambut panjangnya
dibiarkan tergerai sampai ke punggung. Poninya tertata anggun, tipis melengkung,
dan ujungnya menggantung hampir menyentuh dahi. Tubuhnya ramping namun tidak
kurus, tingginya kira-kira sebahu laki-laki dewasa.
Putri
Aoki membungkukkan badannya, berusaha menyentuh ikan-ikan yang sedang berebut
makanan di permukaan kolam. Sesekali tangannya menyibak rambut yang menutupi
telinganya.
“Ehem,
ikannya sudah besar-besar ya sekarang, Tuan Putri.”
Putri
Aoki sedikit terkejut oleh suara yang berasal dari belakangnya, menoleh
sebentar, lalu tersenyum. Bibir tipisnya merekah.
“Ya,
kau benar, Eiji, sudah setahun lebih sejak kau menghadiahkan ikan-ikan ini
kepadaku.” Kali ini Putri Aoki menaburkan pakan di sekitar mata kakinya yang
tercelup air. Ikan-ikan berlompatan. Beberapa kali sirip-sirip ikan itu
mengenai kakinya yang putih. Putri Aoki tertawa kecil menahan geli. Eiji
mengambil posisi duduk di samping kiri Putri Aoki.
Eiji
memang dekat dengan Putri Aoki, sejak kecil mereka adalah teman bermain. Setelah
remaja, mereka sama-sama dilatih oleh Guru Genta. Eiji belajar ilmu pedang, sedangkan
Putri Aoki berlatih memanah. Sudah beberapa tahun ini Eiji mendapat tugas
sebagai pengawal khusus keluarga Kaisar, sedangkan Guru Genta menjadi
komandannya.
“Eiji,
bagaimana kabar terakhir pembunuh ayahku?”
“Ah masih
belum ada petunjuk. Banyak kemungkinan, tapi aku berharap orang itu berasal
dari luar istana, klan musuh misalnya.”
“Memang
ada kemungkinan dia berasal dari dalam istana, Eiji?”
“Sejauh
ini peluang itu masih ada.”
“Itu
mengerikan sekali Eiji.” Bibir tipis Putri Aoki terkatup rapat, wajahnya pucat,
teringat peristiwa tadi malam ketika dia masuk ke kamar ayahnya dan menyaksikan
peristiwa pembunuhan Ayahnya.
“Oh
iya, Guru Genta sebentar lagi tiba di Istana, dia baru menyelesaikan misi pengawasan
di Utara. Siang ini juga akan dilakukan pertemuan untuk membahas kejadian
semalam.”
“Oh
ya? Aku sudah sangat rindu dengan Guru Genta, aku bosan kalau berlatih memanah
sendirian. Eh, kau akan datang juga di
pertemuan itu?”
“Kalau
aku ikut, siapa yang menjagamu Tuan Putri? Bisa jadi pembunuhnya masih
berkeliaran di sekitar sini.”
“Itu
tidak lucu Eiji.” Putri Aoki bersungut-sungut, memanyunkan bibir tipisnya. Eiji
cuma menyeringai.
“Bicara
soal Guru Genta, aku masih punya hutang padanya. Aku berjanji akan
menyempurnakan teknik terakhir Shiranui
Ryu-ku. Aku tak sabar menunjukkan kepadanya.”
“Maksudmu
jurus yang semalam kau gunakan untuk melawan penyusup itu?”
“Ya, kau
benar Tuan Putri. Aku sudah berhasil menguasainya, itu artinya sekarang aku
setara dengan Guru Genta, atau mungkin lebih hebat.”
“Dari
dulu kau tidak pernah berubah, kau sangat keras berusaha, aku kagum padamu
Eiji.” Eiji hanya bisa menunduk dan tersenyum canggung dipuji seperti itu. Eiji
tak menyadari Putri Aoki sedang menatap lekat-lekat dirinya.
***
Hari
sudah mulai gelap. Terlihat kesibukan para pelayan yang sedang menyalakan lampu-lampu
yang ada di istana. Putri Aoki memasuki halaman istana dengan langkah terburu-buru,
Eiji mengikuti di belakangnya. Mereka baru saja mendengar kabar bahwa Guru
Genta akan meninggalkan istana setelah mengetahui kejadian semalam. Di ruang
utama istana, Guru Genta dan Ryusei telah menunggu.
“Aoki..!!
Eiji..!!” Guru Genta menyambut kedatangan mereka dengan senyuman hangat.
“Guru,
kenapa Guru memutuskan pergi??” Putri Aoki langsung bertanya tajam ke Guru
Genta, melampiaskan kekecewaannya.
Orang
tua itu terdiam, senyumannya berganti dengan wajah murung penuh sesal. Setelah
menghebuskan satu napas panjang, Guru Genta menjawab.
“Aku
sudah tidak pantas lagi mengabdi di sini, Aoki, aku sudah gagal.”
“Tidak
Guru!! Kejadian ini bukan hanya tanggungjawabmu, Guru masih dibutuhkan di sini,
dan Guru juga. . .”
“Aku
sudah membujuknya Aoki, dia tetap tidak mau.” Ryusei memotong perkataan Putri Aoki.
Dia ganti menatap kesal kakaknya itu.
“Kakak,
kakak kan calon Kaisar, kenapa kakak tidak memerintahkan Guru Genta untuk tetap
tinggal?” Ryusei terhenyak dengan perkataan adiknya.
“Aoki,
aku tidak mungkin memaksa seperti itu.” Ryusei menjawab singkat, tidak ingin
berargumen panjang lebar. Jawaban itu malah membuat Putri Aoki makin tidak
terima bahwa Guru Genta akan meninggalkan istana, matanya mulai berkaca-kaca.
Guru Genta menatap pasrah melihat kekecewaan salah satu murid kesayangannya itu.
“Guru
Genta,” Eiji yang sejak tadi hanya menjadi penonton, kini ikut bicara. Guru
Genta mengalihkan pandangannya ke Eiji.
“Guru
adalah samurai terhebat di Norinaga. Jadi, aku mohon. . .”
“Tidak
Eiji! Kau sudah jadi yang terhebat sekarang.” Guru Genta refleks membentak
Eiji.
“Eh??”
Eiji bingung. Putri Aoki yang tadi mulai terisak, ikut menoleh.
“Aku
harus pergi, maafkan aku, Aoki, Eiji.” Guru Genta terlihat tidak nyaman, dia
segera balik badan dan melangkah ke luar istana.
“Eiji,
apa kau berpikir sama dengan yang aku pikirkan?” Putri Aoki, setengah berbisik.
“Ya, tentu
saja.”
“Apa
yang kalian bicarakan?” Tanya Ryusei penasaran. Eiji berlari mengejar Guru
Genta. “Guru Genta!! Tunggu!!”
Belum
jauh Eiji berlari, lajunya terhenti di pelataran istana karena dihadang oleh tiga
anggota pengawal Kaisar.
“Biarkan
Guru Genta pergi.” Bentak seorang pengawal.
Melihat
gelagat tidak enak dari pengawal itu, Eiji mencabut pedangnya. “Biarkan aku
lewat atau aku terpaksa melukai kalian.”
Mungkin
para pengawal itu tidak berharap Eiji menentangnya, tapi mereka sudah menduga
reaksi Eiji, mereka ikut menghunus pedang masing-masing.
“Hei!!
Apa yang kalian lakukan?!” Ryusei berteriak, namun terlambat, tangan mereka
sudah mengayunkan pedangnya. Suara dentingan pedang mulai terdengar.
Pertarungan
Eiji melawan tiga pengawal itu cukup berat, mereka sama-sama murid Guru Genta.
Eiji terdesak dan sudah mundur beberapa kali untuk menghindari serangan.
Melihat itu, Ryusei ragu-ragu harus melakukan apa, sementara itu sudah banyak penghuni
istana yang keluar menyaksikan kejadian itu. Ryusei semakin gelisah.
“Kakak!
Cepat bantu Eiji!!” Putri Aoki mengguncang tubuh Ryusei.
Eiji
berkali-kali hampir terkena sabetan pedang, jika bukan karena kegesitannya
mungkin dia sudah terluka parah. Untuk kesekian kali, ketiga pengawal itu menyerbu
bersamaan, belum sempat pedang mereka saling beradu, dua orang pengawal jatuh
tersungkur. Ryusei menebas mereka dari belakang dengan Nitouryu-nya, pedang kembar. Selanjutnya Eiji dengan mudah menangkis
serangan dan menusuk satu orang pengawal tersisa. Tiga orang itu sudah
terkapar, darah berceceran di pelataran istana.
“Kenapa
mereka menyerangmu, Eiji?!” Ryusei belum paham dengan apa yang terjadi.
“Penyusup
yang aku lawan semalam, dia adalah Guru Genta!!” Eiji bergegas mengejar Guru
Genta, Ryusei yang terlihat bingung menyusul di belakangnya.
Menurut
perkiraan Eiji, pertarungan dengan tiga pengawal tadi memberikan waktu yang
cukup lama bagi Guru Genta untuk keluar melewati gerbang utama. Namun
perkiraannya salah, dia menghentikan langkahnya ketika sampai di tepi jembatan,
karena di ujung jembatan yang lain ada belasan pengawal berkumpul. Guru Genta berada
di balik kerumunan pengawal, seolah sengaja menunggu kedatangan Eiji. Ryusei
juga berhenti di samping Eiji. Guru Genta nampak terkejut ketika Ryusei
langsung menghunus Nitouryu-nya.
“Guru!
Kau sudah mengakuinya sekarang, jika kau tak bersalah tentunya pengawal-pengawal
itu tidak perlu menyerangku.”
“Ini
untuk kebaikan Norinaga, Eiji!!” Guru Genta menjawab dengan lantang.
“Hyaaa...!!!”
Tanpa diberi aba-aba, belasan pengawal itu kompak berteriak dan menyerbu ke
arah Eiji dan Ryusei yang sudah bersiap. Pertempuran hebat pun tidak
terelakkan.
Dua pengawal
langsung roboh oleh sabetan pertama dari Eiji dan Ryusei. Ryusei dikeroyok
empat orang dari segala penjuru, dengan Nitouryu-nya
serangan pengawal yang mengerubutinya bisa ditangkis hampir bersamaan. Eiji
lebih memilih bergerak menghindari kerumunan agar bisa mengatasi lawannya satu per
satu.
Pedang
Eiji dan Ryusei mulai menemui sasarannya, beberapa pengawal sudah ambruk dengan
luka yang mengerikan. Tidak lama kemudian, hanya Eiji dan Ryusei yang masih
berdiri tegak. Mereka berdua bagaikan serigala kembar yang baru saja
mencabik-cabik mangsanya.
“Guru!
Lawan aku sekarang, akan kutunjukkan lagi teknik Shiranui Ryu-ku!”
“Kau
memang murid yang hebat Eiji, seharusnya aku tidak meladenimu semalam.”
“Demi
Norinaga.” Setelah mengucap pelan kata itu, Guru Genta menapaki jembatan itu
dengan kecepatan kilat, lalu meloncat untuk menerjang Eiji dari atas. Terjadi dentingan
yang sangat keras ketika pedang Eiji menahan serangan itu, dalam sekejap Guru
Genta melancarkan tendangan ke perut Eiji dan membuatnya jatuh terpental. Eiji
bangkit sambil meringis, lalu bersiap untuk serangan selanjutnya. Pertarungan
itu berjalan alot dan seimbang.
Putri
Aoki menghampiri Ryusei sedang menyaksikan pertarungan itu, dia datang bersama
beberapa pasukan bersenjata lengkap.
“Kau tidak
apa-apa Kak?”
“Tidak,
tapi Eiji sedang dalam bahaya.” Putri Aoki mengalihkan pandangannya.
“Eiji!
Guru Genta! Hentikaaan!!” Putri Aoki berteriak sekeras mungkin. Dia tak percaya
melihat dua orang dekatnya itu sedang saling membunuh.
Wajah
Eiji dan Guru Genta sudah basah oleh peluh, sama-sama kehabisan napas. Eiji
mengalami luka di sobek kaki dan punggungnya, sedangkan Guru Genta tersayat di
kedua lengannya. Keduanya seolah mengerti bahwa serangan berikutnya akan
menjadi serangan terakhir.
“Shiranui Ryu!” Guru-murid itu berteriak
hampir bersamaan, sepersekian detik kemudian mereka melesat menebaskan pedang
masing-masing.
Guru
Genta jatuh telentang, sedangkan Eiji masih sanggup berdiri. Rupanya pedang
Eiji lebih cepat mengenai lawannya. Guru Genta memegang luka di dadanya yang
cukup dalam, wajahnya tegang, lelehan darah keluar dari mulutnya.
“Ee. .
Eiji. . .”
Eiji
menoleh, dia membalikkan badan, berlari tertatih mendekati gurunya yang sedang
meregang nyawa. Ryusei yang melihat itu segera mendahului Eiji menghampiri
tubuh Guru Genta, mengarahkan ujung Nitouryu-nya
ke leher Guru Genta. Tapi Eiji masih sempat menahan gerakan Ryusei dengan
tangannya.
“Kau.
. . Kau memang pengkhianat, Ryusei. . .” Mata Eiji terbelalak mendengar ucapan
Guru Genta barusan. Napas terakhir Guru Genta telah dihembuskan.
“Guru!!
Tidak!!!” Sia-sia saja Eiji mengguncang tubuh gurunya itu. Dipeluknya kepala
Guru Genta sambil menangis, dia amat menyesal karena pedangnya yang mengakhiri
hidup gurunya sendiri. Tak berapa lama, tangisannya mendadak terhenti. Pikirannya
segera menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi, Kau memang pengkhianat, Ryusei. Kata-kata terakhir Guru Genta itu
menjelaskan semuanya. Ryusei ada di balik semua pengkhianatan ini, bersekongkol
dengan Guru Genta. Eiji membalikkan badan dan menghunus kembali pedangnya,
sekarang dia sangat marah.
***
“Jadi,
kau pilih mana Eiji, ikut aku? Atau mati?” Ryusei tersenyum licik. Kini dirinya
sudah tidak perlu berpura-pura lagi, semua rencananya telah terbongkar.
Sementara
Eiji masih belum bergerak, dia sedang berusaha menguatkan hatinya agar bisa
menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa Kaisar telah dibunuh oleh Guru Genta, atas
perintah Ryusei. Lalu setelah ini apa? Bagaimana dengan Putri Aoki? Terlalu
kejam jika Putri Aoki juga harus menghadapi kenyataan semacam ini. Eiji
merasakan pikirannya tidak bisa berhenti berputar-putar. Lamat-lamat dia
mendengar suara Putri Aoki memanggilnya. “Eiji!! Eiji!!” Dia membuka matanya
dan melihat Nitouryu milik Ryusei
sedang diayunkan ke arah badannya. Dengan cepat Eiji berguling ke samping
menghindari serangan Ryusei. Nitouryu
itu hanya menemui udara kosong.
“Nyaris
saja aku bisa membelah tubuhmu menjadi dua. Serangan berikutnya tidak akan
gagal, Eiji.” Ryusei menggenggam erat pedang kembarnya.
“Ryusei!
Demi Norinaga, kau tidak pantas menjadi Kaisar!” Setelah disadarkan oleh
teriakan Putri Aoki, kini Eiji berhasil menguasai dirinya kembali. Dia
memposisikan tubuhnya dan bersiap menyerang dengan Shiranui Ryu. Dengan satu hentakan kakinya, Eiji melayang cepat, namun
tubuhnya malah terjerembab sebelum bisa menjangkau Ryusei, pedangnya terlepas
dari genggaman. Rupanya luka di kakinya makin parah, membuat Eiji tidak bisa
menggunakan teknik itu. Eiji mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya.
“Pertarungan
sudah selesai, Eiji.” Ryusei menyarungkan Nitouryu-nya,
berjongkok di depan Eiji yang masih tersungkur. Namun tiba-tiba tangan Eiji
meraih leher Ryusei, dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, Eiji mengunci
kedua tangan Ryusei dari belakang dan mencekiknya kuat. Dalam posisi berlutut, Ryusei
berusaha melepaskan diri, namun dia tak bisa mengeluarkan tenaganya karena tak
bisa bernapas. Ryusei menggunakan kepalanya untuk menghantam muka Eiji. Satu
tangannya berhasil lepas, namun tangan Eiji yang tadinya mencekik leher Ryusei,
kini digunakan mengunci kembali tangan Ryusei yang sempat terlepas.
“Mau
apa kau Eiji?!!” Ryusei membentak Eiji.
“Tuan
Putri!! Cepat panah Ryusei!! Sekarang!” Tubuh Ryusei yang dikunci oleh Eiji dari
belakang, menjadi sasaran mudah bagi pemanah handal seperti Putri Aoki, tapi
bagaimana mungkin Putri Aoki tega membunuh kakaknya sendiri?
“CEPAT!!!”
Eiji berteriak makin keras. Ryusei meronta hebat. Putri Aoki seperti
terhipnotis, dia segera merebut panah dari seorang pasukan di belakangnya,
memasang anak panah, membentangkan busurnya, dan sesaat kemudian sebuah anak panah
telah terlepas.
Panah
itu menembus tubuh Ryusei, tepat di jantungnya. Tubuh Ryusei, dan juga Eiji, ambruk
bersamaan. Mereka berdua diam tak bergerak.
***
Kabut
tipis menyelimuti istana Norinaga. Di samping kuburan ayahnya, Putri Aoki duduk
termenung. Di tangannya ada gulungan lembaran yang bertuliskan kalimat sumpah
Kaisar Norinaga. Dibukanya lagi lembaran itu untuk yang sekian kali. Putri Aoki
merasa tak sanggup untuk membaca tulisan itu dihadapan rakyatnya nanti. Andai
kakaknya masih hidup, pasti Putri Aoki tak perlu menanggung beban seberat saat
ini, menggantikan posisi Ayahnya sebagai Kaisar. Tidak! Andai kakaknya bersabar
menunggu tahta beralih ke tangannya.
Air
mata yang sedari tadi berkumpul di sudut mata, meluncur membasahi pipi Putri
Aoki. Di umur yang baru dua puluh, saat gadis lain sedang menikmati masa
mudanya, Putri Aoki justru merasakan luka batin yang parah. Rentetan peristiwa seminggu
lalu membuat jiwanya terguncang. Wajah yang dulu cantik bersinar, lantas
berubah menjadi gelap bagai dinaungi awan hujan.
Suara
kaki yang menginjak dedaunan kering, menyadarkan lamunan Putri Aoki, dengan tergesa
dia mengusap wajahnya agar bekas tangisnya tak kentara.
“Tidak
apa-apa Tuan Putri, aku di sini untuk menemanimu.” Demi mendengar suara itu,
Putri Aoki menoleh ke arah pemilik suara itu.
“Eiji...!!”
Putri Aoki berdiri, lantas menubrukkan kepalanya ke dada Eiji. “Eiji...
Akhirnya, aku sempat berpikir kau tidak akan bangun lagi.”
“Andai
Tuan Putri menarik busurnya lebih kuat, nasibku pasti sama seperti orang itu.”
Eiji melirik sebuah nisan di sebelah kuburan Kaisar.
Tangis
yang tadi terhenti, kini berlanjut lagi, meluap lebih hebat. Kedua tangan Eiji
memegang lembut lengan Putri Aoki. Dia hanya bisa membiarkan pakaiannya basah
oleh air mata Putri Aoki, sampai perasaannya menjadi lebih tenang.
Di
sela-sela tangisnya, Putri Aoki mendongakkan kepalanya seraya berkata, “Eiji,
aku benar-benar tidak sanggup membaca sumpah Kaisar ini, aku mohon, bisakah kau
membacakannya untukku?” Putri Aoki menatap Eiji dengan penuh harap, bibir
tipisnya bergetar.
Eiji
sangat terkejut mendengar itu. Membacakan sumpah itu berarti dirinya harus
menjadi pasangan Putri Aoki, dengan begitu Putri Aoki bisa menitipkan tahta diwarisinya
kepada Eiji sebagai suaminya. Tidak pernah terlintas di benak Eiji, apakah
dirinya sanggup menerima permintaan itu. Sebelum berpikir sanggup atau tidak,
apakah dirinya pantas?
Eiji
mencoba membalas tatapan Putri Aoki. Itu membuat seakan Eiji bisa memasuki
ruang hati dan pikiran Putri Aoki lebih dalam. Menyentuhnya, sekaligus
merasakannya.
“Tentu
saja, aku yang akan membaca sumpah itu, Aoki.” Seketika kalimat itu terlontar
dari mulut Eiji. Jawaban dari Eiji membuat wajah Putri Aoki sedikit demi
sedikit memancarkan sinarnya kembali. Dinginnya udara pagi yang berkabut sudah
tak terasa lagi.
***
[Cerpen] Tahta Norinaga
Reviewed by Unknown
on
2/21/2016 09:56:00 PM
Rating: 5