Kepolosan Dedek Penjual CapCin
Sore itu, iseng-iseng saya mencari sesuatu yang 'seger-seger' untuk diminum. Diminum, bukan dilihat. Motor saya berhenti di pinggir jalan, di depan kios yang bertulisan "Cappucino Cincau".
Ketika saya masuk, terlihat ada dua gadis yang sigap berdiri menyambut kedatangan saya. Dua-duanya sama-sama berjilbab. Yang membedakan adalah paras wajahnya, yang satu punya struktur gigi yang kurang rata, sedangkan satunya khas teteh sunda geulis mulus putih minta dilamar. Terlepas dari itu, saya tidak lantas lupa dengan tujuan awal untuk memesan satu cup 'capcin', rasa original, bukan rasa ingin memiliki, apalagi rasa yang tertinggal.
Setelah mendengar pesanan saya, dua gadis itu langsung cekatan bekerja. Ada yang ambil es, ambil cup, ambil bubuk cappucino, mengisi cup dengan serutan cincau, memblender, dan seterusnya.
Sambil menunggu, saya memperhatikan dua gadis itu, mereka sesekali ngobrol plus cekikikan satu sama lain. Ada harmoni di dalam proses yang mereka kerjakan. Mungkin mereka bekerja sesuai dengan jobdesc yang sudah disepakati di awal. Tapi yang menarik adalah mereka enjoy, tidak ada beban, tidak ada rasa khawatir sudah terjual berapa cup hari itu.
Lamat-lamat saya mendengarkan suara acara televisi, yang sedang mereka tonton sebelum saya masuk ke kios. Sinetron remaja. Mereka masih belum sepenuhnya dewasa. Dilihat dari posturnya, mungkin baru lulus SMA.
Dari situ saya menyadari, kesan harmoni yang saya saksikan bersumber dari kepolosan mereka. Manusia yang belum mengenal ambisi, belum mengerti apa itu power, pengaruh, pengakuan orang lain. Saya yakin, manusia yang sudah mengenal hal-hal itu, sangat sedikit yang mampu istqomah bekerja dalam harmoni.
Mempunyai visi yang sama. Mengerti signifikansi pekerjaan masing-masing. Luwes dalam bekerja sama. Customer oriented (not my concern oriented).
Bukannya : cari selamat sendiri-sendiri, kalau bisa orang lain yang melakukan lalu kenapa harus saya, untukku pekerjaanku untukmu pekerjaanmu, kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah.
Perenungan saya dibuyarkan oleh suara salah satu gadis itu, "Mas, udah mas. . ."
Saya bangkit dari kursi dan menyodorkan uang lima ribuan. "Terima kasih Mas. . ." sambil menerima uang, gadis itu melemparkan senyum manisnya dengan malu-malu. Dedek sunda geulis pisan mulus putih minta dilamar.
Sungguh harmoni bekerja yang sempurna. Kalau saja yang berperan sebagai 'kasir' itu gadis yang satunya, maka saya nggak bakal sudi menyebut itu sebuah harmoni.
Sayangnya saya nggak begitu hobi sama capcin, kalau hobi mah Aa' rela beli tiap hari neng. . .
Ketika saya masuk, terlihat ada dua gadis yang sigap berdiri menyambut kedatangan saya. Dua-duanya sama-sama berjilbab. Yang membedakan adalah paras wajahnya, yang satu punya struktur gigi yang kurang rata, sedangkan satunya khas teteh sunda geulis mulus putih minta dilamar. Terlepas dari itu, saya tidak lantas lupa dengan tujuan awal untuk memesan satu cup 'capcin', rasa original, bukan rasa ingin memiliki, apalagi rasa yang tertinggal.
Setelah mendengar pesanan saya, dua gadis itu langsung cekatan bekerja. Ada yang ambil es, ambil cup, ambil bubuk cappucino, mengisi cup dengan serutan cincau, memblender, dan seterusnya.
Sambil menunggu, saya memperhatikan dua gadis itu, mereka sesekali ngobrol plus cekikikan satu sama lain. Ada harmoni di dalam proses yang mereka kerjakan. Mungkin mereka bekerja sesuai dengan jobdesc yang sudah disepakati di awal. Tapi yang menarik adalah mereka enjoy, tidak ada beban, tidak ada rasa khawatir sudah terjual berapa cup hari itu.
Lamat-lamat saya mendengarkan suara acara televisi, yang sedang mereka tonton sebelum saya masuk ke kios. Sinetron remaja. Mereka masih belum sepenuhnya dewasa. Dilihat dari posturnya, mungkin baru lulus SMA.
Dari situ saya menyadari, kesan harmoni yang saya saksikan bersumber dari kepolosan mereka. Manusia yang belum mengenal ambisi, belum mengerti apa itu power, pengaruh, pengakuan orang lain. Saya yakin, manusia yang sudah mengenal hal-hal itu, sangat sedikit yang mampu istqomah bekerja dalam harmoni.
Mempunyai visi yang sama. Mengerti signifikansi pekerjaan masing-masing. Luwes dalam bekerja sama. Customer oriented (not my concern oriented).
Bukannya : cari selamat sendiri-sendiri, kalau bisa orang lain yang melakukan lalu kenapa harus saya, untukku pekerjaanku untukmu pekerjaanmu, kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah.
Perenungan saya dibuyarkan oleh suara salah satu gadis itu, "Mas, udah mas. . ."
Saya bangkit dari kursi dan menyodorkan uang lima ribuan. "Terima kasih Mas. . ." sambil menerima uang, gadis itu melemparkan senyum manisnya dengan malu-malu. Dedek sunda geulis pisan mulus putih minta dilamar.
Sungguh harmoni bekerja yang sempurna. Kalau saja yang berperan sebagai 'kasir' itu gadis yang satunya, maka saya nggak bakal sudi menyebut itu sebuah harmoni.
Sayangnya saya nggak begitu hobi sama capcin, kalau hobi mah Aa' rela beli tiap hari neng. . .
Kepolosan Dedek Penjual CapCin
Reviewed by Unknown
on
5/26/2016 09:20:00 PM
Rating: 5