Pada Suatu Malam

Aku masih ingat warna baju yang dia pakai malam itu. Kerudungnya biru tua, senada dengan bajunya. Kala itu dia masih sibuk mencoba sepatu baru, hadiah dariku. Dia bilang, sepatunya bagus dan nyaman. Aku tersenyum. Inilah saatnya, kataku dalam hati.

“Trus, kapan aku boleh baper?” aku menyeletuk tiba-tiba. Heningnya malam menyelimuti suasana di teras rumah kosan itu. Aku perhatikan dia tidak siap dengan pertanyaanku, walaupun dia paham kemana arah pembicaraanku.

“Kamu boleh baper, kalau sudah ke rumahku, dan bapakku setuju.” Dia menjawab dengan lugas, melebihi ekspektasiku. Aku mencoba mengendalikan diri.

“Oke.” aku mengangguk setuju. Lalu kutambahkan, “Aku seneng dengan jawabanmu, memang sudah seharusnya begitu kan.” Ada jeda hening sejenak yang sengaja aku buat untuk mengambil napas dalam-dalam.

“Aku cuma mau bilang, bahwa selama ini aku deketin kamu bukan untuk main-main, aku punya niat serius sama kamu. Aku nggak tau apakah kamu punya rasa yang sama dengan yang aku rasakan, tapi yang penting aku udah bilang, dan selanjutnya terserah kamu...” Kalimat itu sudah aku siapkan beberapa hari sebelumnya, setelah diskusi dengan ‘penasihatku’ bagaimana menyusun kata-kata yang bagus. Penasihatku pula yang selalu menyemangati selama 6 bulan ini. PDKT yang terbang-hempas-terbang-hempas.

Dia merespon, “Aku sudah blank masalah perasaan, aku punya banyak pengalaman menyakitkan dengan cowok, dan sekarang aku punya prinsip cinta itu bisa dibangun, dan aku bisa kalau bapak sudah oke. Aku mau cerita dulu ke bapak soal ini, kalau beliau oke, kita bisa lanjut.”

Aku lega mendengar jawabannya. Lebih lega lagi ketika aku masuk kriteria calon menantu di mata bapaknya. Lalu setelah momen malam itu, semua berjalan begitu indah. Aku telah memenuhi syarat yang dia ajukan kapan aku boleh baper. Tapi ternyata semuanya palsu.

Sampai akhirnya aku baru tersadar bahwa ada jebakan dalam kalimatnya malam itu, “Aku sudah blank masalah perasaan…

Aku mendapat pelajaran, perempuan yang telah membiarkan hatinya berkali-kali tersakiti, harusnya tidak pernah aku dekati, karena hatinya sudah tidak normal lagi, tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri.

No comments:

Powered by Blogger.