[Cerpen] : The Last Strike (Part 3)
“Cuaca kabarnya akan memburuk nanti sore.”
Reed berkata kepada Sergeant Eric
yang sedang mendongak ke langit. Terlihat di sebelah utara dan selatan terdapat
gumpalan awan putih yang sangat tebal dan luas.
“Nampaknya memang begitu. Ayo kita
bergegas.” Perintah Sergeant Eric.
Sebuah helikopter jenis CH-53 mulai memutar
baling-balingnya. Semua anggota tim patroli segera naik ke dalam helikopter itu.
Siang itu yang mendapat giliran patroli adalah Connor, Rick, Dave, Reed, Kevin,
dan tentu saja Sergeant Eric. Sudah tiga
hari patroli dilakukan, namun belum ada tanda-tanda pergerakan dari militan berbahaya
itu.
Putaran baling-baling helikopter CH-53 sudah
sangat cepat, rodanya mulai berputar ke depan dengan perlahan-lahan. Setelah
bergerak maju kurang dari sepuluh meter, ban helikopter itu mulai terangkat
dari atas tanah, gerakannya sangat anggun, lalu segera terbang menjauh dari
pangkalan. Di kokpit, Sergeant Eric
duduk di samping pilot. Mereka berdua terlihat sibuk dengan radio kokpit,
mungkin sedang berkomunikasi dengan pusat kontrol. Sementara itu, anggota
lainnya duduk di kabin penumpang.
“Nampaknya tiap hari kau selalu ikut
patroli, Kevin.” Reed membuka obrolan.
“Ya, begitu lah. Jadwal minggu ini aku
tidak pernah libur.” Kevin menjawab santai.
“Kemarin aku dengar ada wanita yang datang
ingin bertemu dengan kau, siapa dia? Pacarmu?” Reed melanjutkan pembicaraan.
“Aku juga melihatnya, dia lumayan juga. Aku
tidak heran jika orang seperti kau mendapatkan gadis secantik itu. Siapa
namanya? Nanti kalau dia datang lagi, kenalkan aku padanya, hahahah.” Ujar Rick
dengan nada menggoda.
“Ya, dia pacarku.” Kevin menjawab singkat.
Matanya melirik Connor di seberangnya dengan hati-hati. Connor diam dengan
wajah serius, tidak tertarik dengan topik pembicaraan.
“Sejak kapan kau kenal dia?” Reed masih
ingin bertanya.
“Sekitar dua bulan yang lalu, setelah aku lulus
dari akademi.” Lagi-lagi Kevin melirik cemas ke arah Connor.
“Begitu ya. Umur cinta yang masih muda,
masih ketagihan berkencan, hahahahah.” Rick tertawa keras. Reed dan Dave ikut
terkekeh. Connor masih diam. Tidak ada yang menyadarinya kecuali Kevin.
“Prajurit!! Ada operasi mendadak yang harus
dilakukan!” Sergeant Eric berteriak
dari balik kokpit, membuat kaget semua anggota di dalam helikopter.
“Ada sebuah truk box di pinggir kota, truk
yang sama dengan yang di depot bahan bakar. Mereka menuju komplek reaktor
nuklir yang belum selesai dibangun. Siapkan diri kalian untuk mendarat!” Kelima
prajurit itu saling berpandangan.
“Tunggu apalagi!!” kali ini teriakan Sergent Eric menggelegar, sontak
semuanya langsung sibuk.
Kevin segera mengambil Arctic Warfare Magnum miliknya yang tersimpan di bawah kursi,
kemudian dia membuka scope dan memeriksanya.
Connor dan Rick sama-sama mengambil sebuah M-16 tipe M4A1 beserta beberapa magazine yang penuh terisi peluru. Connor
memasang sebuah peredam diujung senapannya. Dave sudah memegang senapan
andalannya, AUG. Sedangkan Reed, mengambil senjata berjenis submachine gun, P90. Mereka juga
mengambil beberapa jenis grenade,
yaitu high-explosive, flashbang, dan smoke. Gerakan mereka sangat cepat, kurang dari satu menit
semuanya sudah siap. Kini mereka duduk menunggu perintah selanjutnya, sambil
membetulkan posisi tactical headset
yang terpasang di telinga mereka, ujung kecil microphone-nya mengambang di depan bibir.
“Hei buddy.”
Rick berbicara, semua mata tertuju padanya.
“Eemmm. . . . Aku hanya ingin berkata, jika
terjadi hal buruk, siapa pun yang selamat, tolong sampaikan salam ke pacarku
bahwa aku mencintainya.” Rick yang biasanya penuh tawa, kali ini wajahnya
tegang.
“Kau tidak perlu khawatir Rick. Semuanya
akan baik-baik saja.” Reed menepuk bahu kiri Rick.
“Rick, aku tidak khawatir terjadi apa-apa,
tapi aku setuju denganmu, bagaimana dengan kalian?” Dave berkata sambil
memandangi yang lain satu per satu. Reed dan Kevin hanya manggut-manggut.
“Kau tidak ikut, Connor?” Rick bertanya
pada Connor yang hanya diam.
“Aku? Yah, aku tidak mau keluar dari
komplek reaktor itu sebagai mayat. Jadi, aku tak butuh kurir untuk menyampaikan
itu.”
“Hahahah, aku suka gayamu, Connor!!” Rick
kembali bisa tertawa, namun tidak selepas biasanya.
Sergeant
Eric sudah berpindah dari kokpit, membawa selembar kertas dan menempelkannya ke
dinding. Tanpa diperintah, semuanya langsung berdiri.
“Ini denah komplek reaktor, tidak terlalu
jelas, tapi cukup membantu. Prediksi lokasi peledakan adalah di sini, tepat di
reaktornya.” Sergeant Eric menunjuk
gambar bangunan berbentuk kubah yang terletak paling utara.
“Apa strateginya, Sergeant?” Reed bertanya.
“Dengar baik-baik, berdasarkan CCTV pos
jaga, jumlah komplotan itu sekitar 10 orang. Kita akan masuk dari gerbang
depan, di sini.” Sergeant Eric
menandai lokasi gerbang dengan spidol merah yang terletak di paling selatan.
“Setelah masuk gerbang, 80 meter di depan
kita ada gudang. Kita harus melewati gudang sepanjang 70 meter itu untuk bisa
mencapai reaktor. Kemungkinan besar komplotan itu akan bertahan di area ini agar
kita tidak bisa lewat.” Sergeant Eric
meneruskan coretannya di atas peta.
“Kevin! Begitu turun, kau segera menempati
menara jaga di luar gerbang. Tembak musuh yang ada di sekitar gudang. Jika kami
sudah bisa masuk ke gudang, kau segera pindah ke lantai dua bangunan ini, lindungi
area reaktor dari balik jendela.” Sergeant
Eric menunjuk bangunan di samping kiri belakang gudang, dekat dengan reaktor.
Bangunan itu menghadap ke cerobong cooling
tower yang berjarak sekitar 100
meter. Kevin mengangguk tanda mengerti.
“Ingat Kevin, jika kau terdesak,
berlindunglah, jangan melawan di area terbuka!”
“Mengerti, Sergeant!”
Bersamaan dengan itu, pintu belakang helikopter
mulai terbuka.
“Go!
Go! Go!” Sergeant Eric memberi
aba-aba, mengakhiri briefing darurat
itu.
Semuanya melompat turun. Kevin segera
berlari ke menara jaga. Sergeant Eric
yang menenteng submachine gun UMP-45,
mengintip dari pintu gerbang yang sudah rusak diterjang truk box militan.
Terlihat beberapa milisi sudah bersiap di depan gudang sejak kedatangan
helikopter tadi. Militan itu mengenakan pakaian tebal dan panjang, dengan
celana bermotif loreng. Beberapa diantaranya mengenakan kacamata hitam. Terlihat
tactical headset juga terpasang pada
tiap milisi. Mereka menenteng senapan jenis AK-47, moncongnya mengarah ke
depan, siap untuk menembak.
Sergeant
Eric memberi isyarat dengan kepalan tangan di atas kepala, yang berarti
menyuruh tim untuk bertahan. Gudang itu lebarnya sekitar 30-an meter, dengan
pintu lipat terbuat dari besi, namun pintu itu didorong ke pinggir hingga
gudang itu terbuka lebar dan kelihatan bagian dalamnya.
“Duuaarrr!!!” Terdengar tembakan dari
menara jaga. Kevin baru saja menembak mati seorang milisi, tubuh korbannya
terjungkal, kepalanya bocor. Langsung saja milisi lainnya mundur beberapa
langkah sambil mencari-cari asal tembakan itu. Tangan kanan Kevin menarik tuas
disamping scope dengan keras, satu
selongsong kosong terlontar dari slot,
dia mengambil peluru baru dan memasukkannya ke dalam slot, lalu mendorong tuas untuk mengunci slot itu. Dia kembali membidik sasaran berikutnya. Para milisi masih
bingung mencari lokasi Kevin, sedangkan Kevin sudah siap menarik pelatuk.
“Duaarrrr!!!” Korban kedua jatuh. Kevin
kembali menarik tuas, setelah selongsongnya terlempar, tiba-tiba terdengar
rentetan tembakan mengarah ke menara. Kevin menarik senapannya dari jendela
menara dan mundur beberapa langkah. Tembakan para milisi mengenai dinding besi
menara itu, menimbulkan percikan api dan asap tipis.
Bersamaan dengan itu, Sergeant Eric memberi isyarat dengan mengayunkan telapak tangan di depan
kepala. Kelima prajurit yang sudah menunggu momen itu dari tadi, langsung menyerbu
milisi yang sedang sibuk menembaki menara jaga. Peluru yang ditembakkan Connor,
berhasil merobohkan satu orang milisi. Milisi yang tersisa di depan gudang
mengambil langkah mundur dengan cepat sambil menembaki ke arah gerbang. Mereka
tidak siap bakal mendapat serangan dari arah gerbang. Satu lagi seorang milisi terkapar,
terkena beberapa tembakan Sergeant
Eric.
Pasukan Unit
Beta itu berlari mendekati gudang, dan berlindung di balik truk box yang
diparkir melintang di depan gudang agak ke kanan. Beberapa tembakan mengenai
badan truk, namun tidak tembus. Jika benar jumlah militan adalah sepuluh orang,
maka sekarang kondisinya adalah 6 vs 6.
Namun karena pihak militan dalam posisi bertahan, maka kondisi ini masih belum
menguntungkan bagi pasukan Unit Beta.
“Connor! Lemparkan smoke! Semuanya, kecuali Dave, bergerak ke sisi gudang. Sekarang!!”
Perintah Sergeant Eric.
Connor mengambil sebuah smoke grenade dari ikat pinggangnya,
mencabut pin, dan melemparkannya persis di pintu gudang. Tiga detik kemudian,
pasukan itu berlari ke sisi gudang. Asap yang dikeluarkan grenade tadi cukup efektif menutupi pandangan musuh, sehingga
pasukan Unit Beta mempunyai
kesempatan bergerak. Reed dan Sergeant
Eric berlari ke sisi kanan gudang, sedangkan Connor dan Rick ke sisi kiri. Dave tetap bersembunyi di balik truk.
Empat orang milisi bersiaga di dalam
gudang, mereka berlindung di balik box besi dan box kayu, menunggu asap tadi
menghilang.
“Dave! Bersiaplah. Kami akan mengalihkan
perhatian mereka!!” Sergeant Eric
mengeluarkan perintah lagi. Dave sudah mengerti, taktik ini digunakan karena
Dave menggunakan senjata yang ber-scope,
sehingga bisa lebih akurat menembak dari jarak yang lebih jauh selagi perhatian
musuh teralihkan. Dave berdiri menyamping di balik truk, senapan AUG-nya
diangkat ke atas, dia menahan napas, sebutir keringat dingin mengalir di
dahinya.
Kevin, yang masih berada di menara, mengerti
bahwa visibilitasnya sudah tidak berguna lagi sekarang. Dia bangun dan segera
turun dari menara. Setelah lompatannya berakhir di atas tanah, dia berlari
menyusuri pagar komplek nuklir itu, menuju bangunan berlantai dua di belakang
gudang sebelah kiri. “Aku menuju bangunan lantai dua.” Kevin berbicara melalu microphone-nya, dia terus berlari.
Senapannya cukup berat, sehingga larinya sedikit lamban.
Sergeant
Eric memberi aba-aba hitungan mundur untuk melepaskan tembakan pancingan.
Secara bersamaan, keempat prajurit itu mengintip sisi pintu gudang, sambil
menembakkan beberapa peluru. Kini saatnya Dave muncul dari balik truk, membidik
seorang milisi yang ada di balik box besi. “Daarrr!! Darrr!!” Dua tembakan dari
Dave itu mengenai leher dan dada milisi itu hingga terjungkal. Milisi lain yang
ada di dalam gudang sedikit tercengang, tidak mengira ada tembakan dari arah
depan persis.
Rick yang melihat ekspresi para militan
itu, melangkah maju agar bisa menembak dengan leluasa. Matanya sudah mengunci
seorang milisi yang berjongkok di balik box kayu. Dengan sekali tarikan
pelatuk, senapan serbu milik Rick menghujani tubuh milisi itu hingga terkapar.
Dua militan tersisa yang berada di balik box seakan marah, menembak
membabi-buta ke arah sisi gudang dan ke arah truk.
“Tahan!!” Suara Sergeant Eric terdengar dari tactical
headset. Bersamaan dengan itu, sebuah peluru mengenai tulang selangka Rick,
membuat gerakannya tertahan sesaat. Di saat anggota lain sudah kembali bersembunyi
di sisi gudang, badan Rick belum sepenuhnya menjauh dari pintu gudang. Connor
menarik lengan Rick sekuat tenaga agar badan Rick berpindah, namun sesaat
sebelum itu, dada Rick tertembus beberapa peluru. Saat tubuh Rick terjatuh di
sisi gudang, dadanya sudah penuh dengan darah, mulutnya tersedak mengeluarkan
darah, setelah itu tubuhnya tak bergerak lagi. Rick tewas.
(bersambung)
No comments: