[Cerpen] : The Last Strike (Part 2)


“Kalian sudah lihat jadwal patroli?” Sergeant Eric mengawali briefing pagi itu. “Intensitas latihan mulai dikurangi, kemampuan kalian sudah sesuai standar Unit Alpha.”
Genap dua minggu latihan darurat itu dilaksanakan. Dari segi teknik dan kerja sama tim, Unit Beta dianggap sudah mampu jika sewaktu-waktu melakukan operasi. Mulai hari ini akan dilakukan patroli ke wilayah yang diduga menjadi lokasi penyerangan berikutnya.
“Bagaimana kondisi AWM-mu? Oke?” Connor menghampiri Kevin yang sedang membersihkan lensa scope senjatanya.
“Cukup bagus. akurat dan mematikan. Tapi aku masih perlu berlatih untuk menembak dalam kondisi terdesak.”
“Begitu ya.” Connor manggut-manggut.
“Connor, sebenarnya sudah dari dulu aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”
“Apa itu?”
“Kau Connor temannya Elena?”
“Elena?”
“Ya, Elena, anak dari komandan Unit Alpha.”
“Kau kenal dia juga?”
“Elena pernah bercerita kepadaku, tentang kau.”
“Oh ya?” Connor keheranan.
“Kemarilah. Lihat ini.” Kevin membuka tas ranselnya, mengambil sebuah foto dan menunjukkannya pada Connor. Raut muka Connor mendadak berubah merah padam.
“Santai saja, Connor. Aku harap kita tidak membawa masalah pribadi di Unit ini. Oke?” Kevin menyodorkan tangannya. Connor ragu-ragu, kemudian menyambut jabat tangan dari Kevin dengan kaku.
“Aku pergi dulu, tim patroli berangkat semenit lagi.” Kevin memakai tas ranselnya, kemudian keluar dari camp. Tubuh tinggi berambut pirang itu segera menghilang dari pandangan Connor.

Hari itu, anggota yang tidak ada jadwal patroli mendapatkan latihan teknik menembak sambil bergerak. Area gudang di belakang HQ disulap menjadi medan pertempuran.
“Bagus Connor!! Kau belum tertembak, habisi yang lain!!” Sergeant Eric berteriak dari lantai atas gudang. Connor sedang me-reload senjatanya, punggungnya bersandar di sebuah kontainer, yang sekaligus jadi spot berlindung. Setelah menarik napas panjang, Connor keluar dari sarangnya, bergerak cepat dan mulai menembak. Gerakan itu membuat lawan kesulitan mengarahkan moncong senjatanya dengan tepat. Satu peluru karet dari Connor mengenai kepala Rick.
“Oh man. . . Kau pasti bercanda.” Rick menurunkan senjatanya, kemudian duduk dengan malas.
“Ayolah Connor, muncul lah dihadapanku.” Bisik Dave yang berjongkok di balik tangga besi, sedikit memicingkan matanya. Senapan AUG-nya mempunyai scope yang membuat sasaran terlihat lebih dekat sepuluh meter.
“Dimana kau Dave. . .” Connor bergumam, sedang mengambil ancang-ancang untuk bergerak lagi. Lalu dia berlari menuju sebuah kontainer. Dave yang tidak menduga arah gerakan Connor, tembakannya hanya berdesing di sekitar tubuh Connor. Kini Connor sudah berlindung kembali di balik kontainer yang lain.
“Di situ kau rupanya, Dave.” Tanpa ragu-ragu Connor keluar lagi dan menembaki spot yang menjadi tempat berlindung Dave. Namun kali ini Dave lebih siap menghadapi gerakan Connor, terjadi baku tembak sengit antara dua prajurit itu.
“Berhenti..!!” Sergeant Eric berteriak lagi, lalu turun menuju area latihan. Anggota yang sudah tertembak dari tadi, keluar berjalan menuju tengah-tengah area.
“Aku tertembak, Sergeant!” Connor berkata dengan nada menyesal.
“Aku juga tertembak, Sergeant!” Dave muncul dari balik tangga besi, suaranya menunjukkan ekspresi bangga.
Sergeant Eric tersenyum, melanjutkan langkahnya.
“Dengarkan! Rick, kau masih sering terlalu nekat menghadapi musuh tanpa berlindung. Dave, akurasimu memang bagus, tapi percuma kalau kau tertembak dulu. Dennis, Harold, kalian hanya kurang beruntung tertembak begitu cepat. Dan kau Connor! Aku mengakui kau berhasil menjadi bintang untuk latihan ini.” Sergeant Eric menutup evaluasinya, diiringi tepuk tangan dari semua peserta latihan untuk Connor.
“Dia muncul dan menghilang bagaikan Batman.” Bisik Harold kepada Rick.
“Ya, dengan berlari saja dia masih bisa melakukan headshot, sialan.” Rick menggelengkan kepalanya.
“Kita berkumpul lagi jam 3 sore di ruang taktik dan strategi. Dismiss!”
Setelah memberi hormat kepada komandannya, Connor dan yang lainnya kembali ke camp.
“Connor, kau dipuji oleh Sergeant, tapi aku lihat kau tak terlihat bahagia.” Dave meninju pelan bahu Connor.
“Oh ya? Ah, tidak juga. Aku puas dengan latihan tadi.” Jawab Connor sambil terus berjalan.

Sampai di camp, semua mulai sibuk dengan aktivitas pribadi masing-masing.
“Kau mau kemana, Connor?” Dave berpapasan dengan Connor di pintu keluar camp.
“Aku mau ke lobby sebentar, kunci kamarku patah. Aku mau minta kunci cadangan.” Connor menjawab, lalu memperlihatkan kunci yang patah dipangkalnya. Connor berjalan dengan malas melewati koridor menuju lobby. Sejak melihat foto yang ditunjukkan Kevin, dia kehilangan gairahnya untuk berinteraksi orang lain. Connor mendorong pintu lobby, dan seseorang memanggil namanya.
Connie..??!” Otak Connor bekerja mencerna siapa pemilik suara itu. Suaranya cukup mengagetkan, namun terdengar lembut. Connor menoleh ke arah kanan, di deretan kursi lobby, duduk seorang gadis.
“Elena??” Connor memandangi gadis itu, belum hilang rasa kagetnya.
“Kau ternyata di sini, Connie?” Suara lembut itu keluar lagi, kali ini berhasil membuat Connor menjadi gugup.
“Iya, Elena. Kau... sedang apa kau kemari. . . . Ah ya tentu saja, mau bertemu Kevin?” Kalimat Connor terbata-bata.
“Dari mana kau tahu?”
“Aku hanya tahu bahwa kau dan Kevin. . . Ah, aku hanya menebak saja kau bermaksud menemuinya, benar kan?” Connor duduk, berjarak satu kursi dari gadis itu. Gadis itu tak merespon, malah diam memandangi ujung sepatunya, belahan rambutnya terlihat jelas. Connor tidak tahu harus mengatakan apa, dia hanya bisa menyilangkan jari-jarinya, sesekali melirik ke arah gadis itu. Connor bisa menyadari bahwa tubuh gadis itu semakin kurus dibandingkan dengan terakhir mereka bertemu. Rambut gadis itu sepertinya lebih panjang, diikat di belakang, ujungnya yang berwarna kecoklatan dibiarkan tergerai melewati bahu dan menggantung di dada kirinya.
“Kevin sedang ada tugas patroli. Mungkin baru pulang malam hari. Kau sebaiknya ke sini lagi lain kali, Elena.” Connor mengatakan itu, ingin pertemuan itu berakhir sesegera mungkin.
“Kau tahu, Connor. . .” Suara lembut itu mulai kehilangan tenaga.
“Tentang apa?” Connor penasaran, perasaannya was-was.
“Aku ingin mengatakan sejujurnya, bahwa aku ingin Kevin meninggalkan pekerjaannya yang sekarang.” Connor terdiam, mencoba memikirkan tanggapan terbaik untuk kalimat gadis itu.
“Tapi Elena, dia dibutuhkan di sini, dia sangat hebat.”
“Aku tahu itu, Connor! Tapi, apakah kau bisa mengerti bagaimana perasaanku setelah ayahku pergi?? Aku tak punya siapa-siapa lagi!!” Connor menarik tubuhnya ke belakang, memasang wajah serba salah, membiarkan percakapan itu hening sejenak.
“Aku..... takut, Connor.” Kepala gadis itu semakin menunduk, bibirnya bergetar. Connor diam memutar pikirannya kembali, kali ini tanggapannya harus lebih bijak dan menenangkan.
“Maaf Elena, aku bisa mengerti kondisimu. Tapi kau tidak perlu takut akan apapun, Elena. Kevin pasti akan berusaha, dan di situlah dia membutuhkan dukungan dan doamu.”
Gadis itu tak menjawab, napasnya sedikit tersengal.
“Percaya lah Elena, dia yang kau cintai, pasti akan kembali.” Connor memberanikan diri menyentuh punggung tangan gadis itu. Kulitnya terasa dingin. Gadis itu hanya diam mendapat perlakuan itu. Detik-detik berlalu, Connor cemas menanti reaksi gadis itu. Walaupun dulu dia sering memegang tangan gadis itu, tapi kali ini ada perasaan lain yang berkecamuk di benaknya. Tangan yang tadi terasa dingin, perlahan-lahan menjadi hangan. Warna kulitnya yang pucat, kini seakan lebih cerah.
“Aku akan berusaha, Connor.” Gadis itu menjawab dengan menggenggam erat tangan Connor. Untuk beberapa detik, Connor seperti tersengat, kemudian dengan tiba-tiba menarik tangannya kembali.
“Maaf. Mungkin sebaiknya sekarang kau pulang. Kau bisa datang lagi lain waktu. Nanti akan aku sampaikan salam untuk Kevin.” Connor sudah tak betah lagi berlama-lama dalam suasana seperti itu. Agaknya gadis itu sedikit mengerti maksud Connor.
“Baik lah.” Gadis itu berdiri ragu-ragu, gerakannya patah-patah, lalu mulai berjalan ke arah pintu. Connor bangkit dengan cepat membukakan pintu untuk gadis itu, mempersilakan lewat. Setelah keluar, gadis itu masih sempat memberikan senyum kaku dari balik pintu kaca, disertai anggukan, sebagai isyarat berterima kasih.

Connor menarik napas panjang. Gadis itu sudah pergi. Dengan pikiran yang mengambang, dia berjalan menyusuri koridor, sebelum akhirnya menepuk dahi dan berbalik lagi ke lobby. Dia baru ingat di sakunya masih ada kunci yang patah.

(bersambung)

No comments:

Powered by Blogger.