[Cerpen] : The Last Strike (Part 1)
“Ada yang tersisa?” Kapten Xavier mengamati
lembar demi lembar berkas laporan yang ada ditangannya. Di pojok kanan tiap
lembar ada foto seseorang dan namanya.
“Tidak ada, Kapten!”
“Analisis?”
“Bangsat!!”
Kapten Xavier membanting berkas itu ke atas
meja, lalu beranjak dari kursi sambil menghisap cerutu dengan tangan kanannya.
Brakk!! Meja kayu itu menjadi sasaran empuk kejengkelan Kapten Xavier.
“Panggil Sergeant Eric, aku ingin berbicara dengannya sekarang juga. Jangan
sampai pers tahu masalah ini, bilang
saja depot bahan bakar itu meledak karena korsleting.”
“Siap Kapten! Saya permisi.”
“Tunggu!! Satu lagi, Kolonel.”
“Apa itu Cap?”
“Tolong jadwalkan aku untuk hadir di
pemakaman besok. Aku ingin mengucapkan bela sungkawa untuk keluarga Jerry.”
“Baik, Kapten.” Kolonel Dan mengangguk
hormat, kemudian bergegas keluar ruangan.
Kapten Xavier kembali menikmati cerutunya
dua-tiga hisapan lagi, sebelum mematikannya ke dalam asbak.
***
Kerumunan itu mulai terurai. Orang
berpakaian stelan serba hitam, satu per satu mulai berbalik badan, membubarkan
diri. Satu-dua orang sempat menghampiri seorang gadis berpakaian biru tua
dengan kulit putih pucat, kepalanya tertunduk. Mereka membisikkan sesuatu,
sambil mememgang bahu gadis itu. Si gadis hanya menjawab dengan anggukan yang
patah-patah.
Dari kejauhan, terlihat seorang pria
bercelana jeans hitam dan jaket putih berkerudung. Pria itu memandangi gadis di
kerumunan itu. Rasa duka tersirat dari balik kacamatanya yang berlensa coklat.
Kurang dari lima meter dari tempat pria itu berdiri, ada mobil Renault Duster yang sedang bergerak
pelan memarkirkan body-nya dengan
gagah. Pintu mobil terbuka, beberapa orang keluar, semuanya berpakaian militer.
Tanpa aba-aba, mereka langsung berjalan mendekati sisa kerumunan itu.
“Kolonel Dan!!” Pria itu memanggil salah
seorang perwira yang berjalan paling belakang.
Kolonel Dan berhenti, menoleh dan membalas
seruan itu dengan senyuman tipis.
“Siapa kau, anak muda?”
“Private
Connor, Pak. SF 101 Unit Beta. Salam hormat.” Mereka berdua berjabat tangan
erat.
“Sedang apa kau di sini?”
“Saya sedang ambil cuti, Pak. Kebetulan....saya
adalah teman dekat putri dari Sergeant
Jerry.”
“Oh begitu. Kau sudah menemui dia?”
“Sssu..sudah Pak.” Pria itu menjawab dengan
gugup, seperti menyembunyikan sesuatu.
“Sebaiknya kau jangan jauh-jauh dari HQ anak muda. Bisa jadi liburmu
dipersingkat tiba-tiba.”
“Saya mengerti, Kolonel.” Pria itu
mengangguk cepat. Kolonel Dan meninggalkan pria itu sendirian, menyusul
rombongan Kapten Xavier.
Pria itu mengusap wajahnya dan
menghembuskan napas berat. Baru saja pria itu menaiki motornya, dering handphone-nya berbunyi. Seseorang dengan
nada tegas sedang berbicara di seberang sana. “Baik pak. Saya segera kembali.”
Jawab pria itu.
***
“Kami turut berduka, Nona Elena.” Kapten
Xavier berdiri sopan di samping kanan gadis itu. Lagi-lagi gadis itu hanya
mengangguk. Tangannya semakin erat menggenggam tisu tebal yang sudah basah.
Kepalanya tetap menunduk.
“Ayahmu seorang prajurit yang hebat. Sebelumnya
dia selalu sukses menjalankan tugas. Dia paling diandalkan di Unit kami.”
Kapten Xavier diam sejenak, lalu
melanjutkan kalimatnya, “Kami sangat kehilangan, untuk itu kami ingin memberi
penghormatan terakhir baginya di sini. Semoga beliau bisa tenang, menyusul
Nyonya Jerry di surga. Dan saya harap Nona bisa tegar menghadapi ujian ini.”
“Terima kasih, Kapten. . .” Ucap lirih
gadis itu, telunjuknya menyeka air di ujung-ujung matanya.
“Kami permisi, Nona. Maaf tidak bisa
menemani anda lebih lama lagi. Silakan nanti pulang ke rumah, diantar salah
satu rombongan kami. Jangan sungkan, kami siap membantu.”
“Tidak perlu, Kapten. Terima kasih.” Suara
gadis itu terdengar lembut, namun tak bertenaga. Kapten Xavier meninggalkan
tempat itu, setelah sempat mengatakan satu-dua patah kata kepada beberapa kerabat
si gadis.
Tempat pemakaman itu semakin sepi. Sungguh
pemandangan yang amat miris, seorang anak tunggal dari sebuah keluarga sedang
berdiri di atas pemakaman kedua orang tuanya. Entah berapa kali tiupan angin
lewat sambil membawa gulungan daun, hingga gadis itu beranjak dari situ.
***
“Kota ini sedang terancam. Sebuah depot
bahan bakar diledakkan, bersama dengan satu tim Unit Alpha. Keadaan kacau, pers
terus mendesak menanyakan asal-usul suara tembakan yang sempat didengar oleh
warga. Gerombolan militan itu masih berkeliaran di sekitar kita. Bagian reserse
sedang menyelidiki motif serangan ini.” Kapten Xavier menatap tajam semua prajurit
yang ada di ruangan itu.
“Komplotan itu bisa menyerang kapan saja.
Saat ini kami sedang memonitor pergerakan mereka, dan kita harus menyiapkan
kekuatan untuk menghajar balik. Unit
Alpha adalah yang terbaik selama ini, dan aku mau Unit Beta bisa menggantikan posisi itu. Sergeant Eric!!”
“Siap Kapten!” Sergeant Eric berdiri memberi hormat.
“Kau yang akan memimpin Unit ini, anggotamu berjumlah 12 orang.
Setiap orang harus siap ditugaskan kapan saja. Untuk itu, akan ada latihan
darurat mulai hari ini, sampai para penjahat itu tertangkap, atau mati.” Kapten
Xavier memberi isyarat dengan remasan tangan.
“Satu lagi, kita mendatangkan personel
baru, dia seorang sniper dari SF 201,
dia juga masih muda. Selanjutnya Kolonel Dan akan memberikan detail tentang latihan
ini. Good Luck, son!!”
“Siap, Kapten!” jawaban serempak dari
seluruh anggota Unit Beta.
***
Sudah beberapa hari Unit Beta melakukan latihan darurat. Sergeant Eric sebagai komandan, membawahi 12 prajurit, mereka
adalah Reed, Wade, Rick, Dennis, Xander, Connor, Harold, Ron, Dave, Quinn,
Orin, dan Kevin. Nama terakhir adalah anggota baru dari divisi lain yang
dimutasi ke Unit Beta, namun belum
bergabung hingga hari ini.
“Jadi, sekelompok bajingan ada di luar
sana, dan kita sedang bersiap menghajar mereka sampai mampus? Haha, itu bakal
sangat seru.” Rick memulai pembicaraan saat sedang makan siang.
“Itu tidak lucu Rick. Kau sadar, keamanan
kota ini dipertaruhkan.” Reed menimpali.
“Asalkan kita bisa membantai mereka semua,
kota akan aman, bukankah begitu?” Rick santai menanggapi kalimat Reed.
“Hei dengar, kau tahu apa artinya jika Unit Alpha saja dihancurkan dengan mudah?
Kau bisa bayangkan penjahat seperti apa yang akan kau hadapi?” Dave mencoba
menengahi.
“Kalian ini bicara apa?!” Bentak Rick,
“Hey!! Kita ini pasukan yang bisa membebaskan Presiden yang menjadi tawanan.
Ayolah, serius berlatih, kalahkan musuh, dan kalian bisa kembali mengencani
pacar kalian masing-masing.”
“Hahahahah. . .” gelak tawa terdengar keras
memenuhi ruang makan.
“Hei, aku dengar siang ini penembak jitu
kita akan bergabung.” Connor, yang dari tadi hanya ikut tersenyum, membuka
topik lain untuk dibicarakan.
“Itu bagus. Kita bisa punya pilihan
strategi yang lebih banyak jika ada seorang sniper.”
Reed menanggapi informasi itu.
“Ya kau benar, kau bisa membuat arwah
penjahat itu penasaran, karena mereka tidak tahu telah ditembak dari arah mana,
hahahah.” Rick kembali membuat suasana makan siang menjadi sangat santai.
“Ehem..!!” terdengar suara berat memecah perhatian.
Sadar siapa yang berdehem, semuanya berusaha menghentikan tawanya, menyisakan
wajah yang merah padam dan serba salah. Sergeant
Eric berdiri mantap di ujung meja.
“Maaf mengganggu makan siang kalian,
bapak-bapak. Saya hanya ingin memperkenalkan Kevin, anggota baru tim ini.
Silakan, Kevin.”
“Selamat siang, suatu kehormatan bisa
bergabung di tim ini.” Kevin melemparkan senyuman. Semua yang ada dihadapannya
ternganga, tidak yakin apakah anggota baru tersebut seorang prajurit atau seorang
bintang film.
(bersambung)
No comments: