IBC (International Batik Center) : Upaya Revitalisasi Nilai Seni BatikPekalongan

Hari selasa, di penghujung Juli 2012, saya menyempatkan untuk memenuhi rasa penasaran saya pada satu gedung baru ini, International Batik Center (IBC),. Letaknya di Jalur Pantura, tepatnya di Jl. Ahmad Yani, Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan,. Bangunan dan halaman parkir yang luas, fasilitas lengkap, dan masih baru! Kalau tidak salah mulai dibangun sejak sebelum saya kuliah, dan sekarang 3 tahun kemudian sudah Grand Opening, bulan Maret lalu,. Menurut keterangan dari pihak manajemen, IBC dibangun sebagai upaya untuk mempertahankan pengakuan UNESCO atas batik, di samping itu juga menjembatani para perajin batik yang ingin masuk ke gerbang perdagangan internasional.

Pintu Gerbang IBC
Canting dan Wajan Raksasa
Saat pertama melangkah masuk, ini apa? Ini cuma seperti Pasar Grosir Batik Setono yang dipindah ke sini, bedanya di sini lebih adem doang ada AC-nya,. Namun rasa curiga itu akhirnya berubah menjadi perasaan terhenyak saat masuk di ruangan paling depan, tampak di situ dipajang beberapa kain Batik Tulis, dan ada semacam X-Banner bertuliskan, intinya : “Di sini hanya menjual Batik Tulis dan Batik Cap”,, wow *kata gueh,. Di sebelahnya lagi ada X-Banner lain : “Dilarang mengambil gambar/foto, dilarang menyentuh”, ebuset!! Ini seriusan kain batik nggak boleh difoto n disentuh??? Bagi saya, it’s Amazing!! Benar-benar membuat saya tercengang!! Well, mungkin takut rusak, dan takut motifnya ditiru tanpa izin (sepertinya motif tersebut sudah mendapat HAKI, hehe),.
Ok, kita mulai dulu dengan sekilas tentang batik, setau saya jenis batik yang dijual di pasaran ada 3, mutu terendah Batik Printing, mutu lebih bagus Batik Cap, dan paling bagus Batik Tulis, ada juga kombinasi Cap dan Tulis,. Semakin sulit teknik pembuatan, maka harganya pun otomatis akan semakin mahal,.

Saya menyempatkan untuk survey, tanya-tanya kepada pelayan toko, sambil memilih-milih motif (berpura-pira mau beli),. Agak sebel sih sebenernya sama mbak-mbak pelayan tokonya, nggak mau diajak ngomong pakai bahasa Jawa, pertanyaan-pertanyaanku pasti dijawab dengan bahasa Indo, mungkin ini memang sudah aturan di sini,. Dan dari hasil kunjungan saya ke berpuluh-puluh toko, saya bisa mengorek beberapa informasi,. Untuk kemeja cowok, rata-rata harga Batik Printing dibawah 30ribu, Batik kombinasi Cap-Tulis kisaran 60-150ribu, dan Batik Tulis (100% asli Tulis) jauh lebih dari itu, bahkan sampai jutaan rupiah,. Jelas ada perbedaan fisik antar jenis batik, Batik Print warnanya hanya tajam di satu sisi saja, bahan kainnya mutu rendah, warna mudah luntur dan pudar,. Sedangkan Batik Cap dan Tulis, warnanya mantap, dan harus menggunakan kain yang bagus untuk hasil yang optimal,.

Dulu saya tidak mengerti, kenapa saya tidak begitu puas dengan dipatenkannya Batik sebagai warisan budaya dunia (world heritage) tak benda (intangible), dipikiran saya sepertinya ada semacam hal yang salah berdasarkan pemahaman saya selama ini,. Pertanyaan itu terjawab kala saya mendengar slentingan-slentingan yang menyimpulkan bahwa di Pekalongan khususnya, Batik bukan dianggap sebagai barang seni/kerajinan tangan, tapi sebagai komoditas industri, ya benar!! Komoditas industri!! Dibandingkan dengan kota-kota seperti Solo dan Jogja yang menghargai batik sebagai Karya seni!! Dan dengan persepsi masyarakat yang masih demikian, muncul slogan “Pekalongan : The World City of Batik”, bukan kah ini terlalu terburu-buru?? Saya rasa lebih tepat kalau “Central Production of Batik”,.

Ya, Batik sendiri kurang dihargai di Pekalongan (mungkin juga di Kota lainnya), buktinya muncul metode membatik dengan printing, mencetak motif secara instan secara massal dengan alat sablon, bahakan dengan bantuan mesin dan komputer, dimana letak karya seninya?? Bagaimana mungkin, sepotong kemeja Batik berharga 25ribu, yang notabene lebih murah dari kemeja biasa? Mungkin bagi produsen, mereka bisa mencari pembenaran dengan alasan tren dan membludaknya permintaan,. Ketika batik Indonesia mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dari UNESCO justru batik printing lebih merajai pasaran batik.

Jujur saya tidak tega, entah saya emang nggak bakat dagang atau gimana, tapi melihat beberapa fenomena, misalnya : orang-orang pekalongan yang menjual Batik kepada orang non-Pekalongan dengan harga tinggi (bahkan itu dilakukan oleh teman2 saya), menjual barang kualitas terendah tapi dengan harga mahal, seakan-akan itu barang mutu bagus,. Dan parahnya, yang beli pun mau-mau aja percaya, what the. . . . >.<

Fenomena lain, membuat kemeja Batik untuk seragam organisasi atau kepanitiaan, tentu saja kantong mahasiswa hanya pas untuk membeli Batik dengan harga termurah, dan lagi-lagi itu Batik Printing,. Bagi orang di luar pekalongan, pasti masih dominan menganggap itu barang seni dan memakainya dengan bangga, efek dari embel-embel “World’s Heritage”,.

Terlepas dari pendapat orang Pekalongan lainnya, saya pribadi kurang mendapat sense of belonging sebagai penghuni Kota Batik, mungkin ini dipengaruhi oleh lokasi rumah saya yang jauh dari daerah produsen batik,. Tidak ada artinya ratusan toko batik berjajar di sepanjang jalur pantura Pekalongan, percuma juga di hari-hari tertentu semua PNS dan siswa diwajibkan menyeragamkan batik, jika bahan batik yang mereka pakai tidak bernilai seni,.

Alih-alih mengapresiasi kebudayaan, saya lebih bangga memakai Batik yang bernilai seni, misalnya Batik kombinasi Cap dan Tulis, harganya memang di atas jangkauan mahasiswa, tapi mau gimana lagi? Ditambah lagi, disamping mahal, kalau dilihat dari jauh, tidak jarang kemeja Batik yang mahal terlihat lebih jelek daripada yang murahan!! Batik yang mahal di mata orang awam sering terlihat biasa-biasa saja, tentu saja dari jarak yang jauh, hehe,.

Nah, pengalaman saya di IBC tadi menyadarkan betapa pentingnya proteksi Batik sebagai komoditas seni, dan IBC merupakan salah satu langkah nyata untuk itu,. Saya sangat lega, akhirnya ada juga wahana untuk mengembalikan arti dari apa itu Batik,. Di tempat ini kita dididik untuk membeli kain Batik yang bernilai seni, bukan barang industri,. Memang, yang namanya karya seni itu pasti mahal, namun itulah implikasinya, kita sebagai manusia juga harus belajar menghargai hasil karya cipta,. Semoga masyarakat Pekalongan bisa belajar dan mengerti tentang maksud tersirat dalam pendirian IBC, yang pada akhirnya Pekalongan yang katanya Kota Batik bisa memperlakukan Batik seperti di kota-kota penghasil Batik lainnya,.

Sekian. . . . . Semoga menginspirasi. . . .

Ka-Chaw!!

Moh. Achor Mardliyan (20) – Pekalongan – Pecinta Kemeja Batik – Teknologi Industri Pertanian IPB,.

No comments:

Powered by Blogger.