Pertanian : “Kartu As” untuk Mencapai Indonesia Mandiri

Bismillah. . . .

Klub sepakbola terkenal, punya setidaknya satu atau beberapa pemain andalan,. Pemain tersebut tentu saja harga kontraknya mahal, karena dengan kualitasnya sering kali menentukan hasil akhir pertandingan,. Pun juga ketika kita ingin mencapai tujuan, pasti kita punya cara jitu yang dijadikan andalan. Dan dalam menentukan cara jitu tersebut, kita tidak bisa main-main, banyak yang harus dipertimbangkan,.

Sudah dari dulu, Indonesia mempunyai cita-cita untuk menjadi negara yang mandiri,. Mungkin kita masih ingat bagaimana dulu Bung Karno sangat konsen dengan kemandirian Indonesia secara ekonomi, melepaskan segala bentuk ketergantungan, baik dari blok barat atau blok timur, terlebih lagi dari negara tetangga,. Cita-cita tersebut hukumnya fardhu ‘ain untuk diwujudkan, karena dengan tercapainya tujuan tersebut maka sedikit banyak akan menyingkap awan gelap yang sekian lama menyelimuti negara ini,. Banyak lapangan pekerjaan tersedia, pendapatan meningkat, kesejahteraan merata, yang semua itu bisa jadi mampu membantu mengikis masalah moral bangsa,.
Indonesia sedang sibuk berbenah untuk mempersiapkan diri menuju komunitas ASEAN 2015, dimana akan diberlakukan perdagangan bebas tanpa bea di wilayah Asia Tenggara,. Tentu akan menjadi bumerang apabila dalam komunitas tersebut kita hanya menjadi penonton saja,. Sedikit informasi, cukup banyak komoditi pertanian Indonesia yang ditetapkan sebagai komoditi ekspor menghadapi ASEAN 2015 , diantaranya minyak kelapa sawit, karet, kakao, rempah, ikan, minyak atsiri, dan kulit. Komoditi tersebut dipilih karena memang produksinya di Indonesia sangat besar,.

Menilik kembali predikat negara ini, Agraris, Maritim, Sumber Plasma Nutfah, seharusnya predikat tersebut sudah cukup untuk dijadikan “clue”, tentang apa yang akan kita jadikan sebagai “Kartu As” menuju Indonesia yang mandiri,. Ya, pertanian,. Lihat saja, kontribusi pertanian terhadap devisa negara tahun 2011 sebesar  US$ 22,77 milyar (deptan, 2012). Sedangkan untuk tenaga kerja, BPS (2012) mencatat sebesar 41,20 Juta jiwa atau sekitar 43,4% dari jumlah total penduduk Indonesia.

FAO memperkirakan bahwa tahun 2013 akan terjadi krisis pangan global akibat kekeringan yang melanda sebagian besar Negara di dunia. Hal ini akan memicu kenaikan harga jagung dan gandum serta kedelai yang sempat memukul industri pengolahan tahu-tempe di Indonesia. Paralel dengan krisis energi, dunia juga sedang harap-harap cemas dengan harga minyak yang fluktuatif dan jumlah cadangan yang semakin menipis,. Kedua jenis krisis dunia di atas memposisikan Indonesia sebagai salah satu problem solver, bagaimana tidak? Kita punya semuanya, lahan, bahan baku, teknologi, SDM,.

Sudah saatnya pemerintah negeri ini memfokuskan diri pada penguatan sektor pertanian, tentunya melalui kebijakan-kebijakan yang signifikan,. Banyak yang bisa dilakukan, menambah anggaran riset, menguatkan kelembagaan pertanian, memacu agropreneur, larangan impor, menambah jumlah industri pengolahan hasil pertanian, dan kebijakan-kebijakan lainnya,. Di satu sisi, pemerintah juga harus mengurangi blunder, seperti pembebasan lahan untuk bisnis properti, kelonggaran izin impor,.

Kita akan lebih sulit mandiri jika memilih sektor non-pertanian sebagai sektor andalan,. Karena ibarat MotoGP, Indonesia start di grid paling belakang, sedangkan negara lain berada di pole position,. Suatu saat, banyak bangsa di dunia yang bakal menggantungkan kehidupannya pada negeri ini, namun kita tidak bisa menunggu hingga dunia mengalami krisis parah,. Tahap kemandirian harus mutlak dicapai terlebih dahulu, sebelum bisa mengurusi kepentingan bangsa lain,.

Maju lah terus negeriku, kita adalah harapan dunia!!

Bogor, 10 Maret 2013

No comments:

Powered by Blogger.