Pola Hidup Vegetarian sebagai Salah Satu Upaya untuk Mengatasi Pemanasan Global

Pola Hidup Vegetarian sebagai Salah Satu Upaya
untuk Mengatasi Pemanasan Global

Oleh :
Moh. Achor Mardliyan

 Pendahuluan

Isu pemanasan global begitu berkembang akhir-akhir ini. Pemeran utamanya tentu saja manusia dengan berbagai aktivitasnya. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang signifikan, seperti yang terjadi di negara kita, efek dari pemanasan ini telah menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem. Di beberapa daerah sering terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor, munculnya angin puting beliung, bahkan kekeringan yang mengancam jiwa manusia.

Menurut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang termasuk dalam gas rumah kaca diantaranya CO2, NO2, CH4, SF6, PFCs, dan HFCs. CO2, NO2, dan CH4 sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil baik dari sektor industri maupun dari transportasi (Winarso, 2009).

Pemanasan global menjadi masalah yang sangat serius belakangan ini dan sektor peternakan merupakan salah satu penyebab utama dari efek pemanasan global. Seperti dalam laporan PBB (FAO) yang berjudul “Livestock’s long shadow: Environmental issues and option” (dirilis pada November 2006). Peternakan menyumbang paling besar gas rumah kaca kurang lebih sebesar 18%, angka ini melebihi besar gas rumah kaca yang di hasilkan oleh gabungan transportasi di seluruh dunia sebesar 13%. Selain itu peternakan juga melepaskan sebesar 9% karbondioksida dan 37% gas metana (Ching Hai, 2009). Disebutkan juga bahwa peternakan adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Sebesar 70% bekas hutan di amazon telah di alih fungsikan menjadi ladang-ladang peternakan. Dampak dari penebangan hutan tersebut dalam setahun di perkirakan menyumbangkan emisi sebesar 2,4 miliar ton gas CO2 dalam setahun (Foley, 1993).

Kondisi ini memunculkan wacana untuk menganjurkan manusia untuk mulai beralih memilih pola hidup vegetarian dengan mengurangi secara signifikan jumlah konsumsi daging. Dengan berkurangnya permintaan daging, maka limbah peternakan yang dihasilkan juga akan menurun.
Kontribusi Limbah Peternakan dalam Emisi Gas Rumah Kaca

Menurut FAO (Ching Hai, 2009), bagian sektor peternakan yang menyumbang emisi gas penyebab rumah kaca adalah :

1. Emisi karbon dari pembuatan pakan ternak
Dalam proses pembuatan pakan ternak memerlukan proses terlebih dahulu pada saat pengolahan lahan pertanian untuk pakan ternak dapat menghasilkan gas karbondioksida sebanyak 28 juta ton pertahunnya

2. Emisi karbon dari pencernaan hewan ternakDalam proses pencernaan hewan ternak khususnya ruminansia dibantu oleh bakteri metanogen. Bakteri ini menimbulkan produksi gas metan, gas metan yang dihasilkan dari pencernaan hewan ternak dalam setahun dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya. Sedangkan metana yang terlepas dari pupuk dari kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.

3. Emisi karbon dari pengangkutan seta pengolahan hasil ternak
Pada saat pengolahan daging hasil peternakan dapat menghasilkan emisi karbon sebesar puluhan juta ton per tahunnya. Sedangkan dari pengangkutan hasil ternak ke konsumen dapat menghasilkan emisi gas karbon dioksida dapat mencapai 10 juta ton per tahunnya.

Selain menyebabkan gas rumah kaca, peternakan juga diduga sebagai penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Diperkirakan sekitar 30% dari permukaan tanah bumi dipakai untuk lahan peternakan (Sugiyono, 2010). Selain itu lahan dan air yang digunakan untuk penanaman pakan ternak juga banyak memakan lahan.

Dari uraian diatas dapat dilihat seberapa besar kontribusi dari berbagai sektor peternakan dalam menyumbang emisi gas yang dapat memngakibatkan pemanasan global. Di Australia bahkan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan sektor peternakan bahkan lebih besar dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Sektor peternakan Australia setiap tahunnya menyumbang 3 juta ton gas metana.

Pola Hidup Vegetarian sebagai Solusi Efektif

Di dalam laporan tahun 2007 yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) lebih menyoroti masalah "pentingnya mengubah pola hidup". Rajendra Pachauri (ketua panel perubahan iklim PBB (IPCC) dan juga pemenang hadiah Nobel) sepakat bahwa sekarang sudah saatnya mengurangi konsumsi daging karena daging benar-benar komoditas penghasil karbon yang signifikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa 1 kg daging akan menghasilkan 36,4 kg emisi karbon dioksida (Ching Hai, 2009). Selain itu, pemeliharaan dan transportasi yang digunakan untuk menghasilkan sepotong daging sapi, kambing, atau babi tersebut membutuhkan energi dalam jumlah yang sama untuk menyalakan sebuah bola lampu 100 watt selama tiga minggu.

Pola makan vegan organik menghasilkan penghematan 94% emisi gas rumah kaca (Ching Hai, 2009). Kenyataan didasarkan atas efek mendinginkan planet yang signifikan dari menghilangkan metana dari atmosfer, yang terjadi ketika kita beralih ke pola makan vegan organik. Dan selain menghilangkan emisi metana yang berbahaya, metode membajak tanah organik nyatanya dapat menyimpan 40% karbon kembali ke dalam tanah. Maka menjadi vegan adalah cara yang tidak hanya melenyapkan emisi secara berarti, namun bahkan menyerap lebih banyak karbon dari atmosfer. Dan dengan pendekatan itu, kita mampu menyelamatkan dunia karena peralihan menuju pola makan non-hewani menghentikan semua produksi metana dan pencemar yang terkait.

Menghentikan produksi daging menghemat 80% dari total biaya US$40 triliun untuk mengurangi pemanasan global; memakai 4,5 kali lebih sedikit tanah untuk menanam makanan; menghemat hingga 70% air bersih, menyelamatkan 80% hutan hujan Amazon yang telah dibuka dari lahan penggembalaan hewan (Ching Hai, 2009). Sebuah kajian yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa pertanian organik melestarikan lapisan tanah yang paling subur dan menjaga badan-badan air bersih, dan jika dipakai di seluruh dunia, akan memiliki potensi untuk menyerap dan menyimpan kurang lebih 40% dari semua emisi CO2 setiap tahun sekarang ini. Ini akan menjadi keuntungan langsung bagi bumi kita.

Aspek lain dari pertanian vegan organik yang menguntungkan termasuk hal-hal seperti rotasi tanaman, penutupan tanah dengan jerami dan pupuk alami. Rotasi tanaman artinya sebuah ladang ditanami dengan tumbuhan berbeda untuk setiap musim. Pendekatan beragam ini membantu menjaga tumbuhan sehat dan juga memulihkan kesuburan dan nutrisi ke dalam tanah. Metode lain seperti menutupi tanah dengan jerami dan bahkan metode baru yang disebut pertanian organik tanpa membajak membantu menjaga kelembaban dan mengurangi erosi tanah secara berarti.

Jadi, secara umum, pertanian vegan organik mengikuti suatu filsafat hidup yang selaras dengan alam dan perlindungan terhadap Bumi dan semua makhluk. Metode ini melibatkan dukungan terhadap keseimbangan alami antara pertanian dan lingkungan. Dengan berjalannya waktu, kombinasi kepedulian dan praktik melalui teknik-teknik yang tersedia ini dalam jangka panjang dapat mengarahkan menuju pulihnya keseimbangan dari masalah-masalah yang mungkin pernah timbul di masa lampau.

Di Indonesia, solusi ini sangat aplikatif karena Indonesia merupakan negara yang berbasis pertanian, jadi tidaklah sesulit negara lain untuk membudayakan pola hidup vegetarian karena pasokan

komoditas petanian kita melimpah. Di samping itu, sebagian besar masyarakat Indonesia juga belum banyak yang terbiasa mengkonsumsi daging dalam jumlah besar.

Peran Aktif Pemerintah dan LSM

Dalam penyeberluasan gerakan pola gidup vegetarian di Indonesia, terdapat dua kekuatan besar yang sanggup menjalankannya, yaitu pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Kebijakan perlu dikeluarkan pemerintah untuk mendukung gerakan ini, seperti yang telah dilakukan parlemen-parlemen di Eropa, yaitu memotong subsidi untuk industri daging dan memberikannya kepada para petani organik. Dengan kebijakan tersebut, pemberian insentif kepada petani organik akan menambah produktivitas pertanian. Contoh lain adalah di negara Taiwan, sang presiden, Ma Ying-jeou mengumumkan bahwa makan lebih banyak sayuran dan mengurangi daging adalah salah satu perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan untuk menghasilkan emisi yang lebih rendah. Presiden Ma Ying-Jeou dan seluruh pegawai kantor presiden menandatangani sebuah deklarasi langkah-langkah untuk mengurangi CO2, yang mencakup makanan lokal, mengonsumsi lebih banyak sayuran, dan mengurangi daging.

Berbagai LSM juga potensial untuk mengajak masyarakat menerapkan pola hidup vegetarian. Berbagai kegiatan bisa mereka lakukan dalam rangka mensosialisasikan pola hidup vegetarian. Salah satu yang paling terkenal adalah IVS (International Vegetarian Society) yang juga telah banyak berkontribusi di kawasan Asia khususnya Indonesia.

Kesimpulan

Salah satu penyebab pemanasan global adalah gas rumah kaca yang dihasilkan dari limbah peternakan. Kandungan gas metana dan karbondioksida yang dihasilkan jauh lebih banyak daripada jumlah yang dihasilkan kendaraan bermotor menggunakan bahan bakar fosil. Kondisi ini memunculkan wacana untuk menganjurkan manusia untuk mulai beralih memilih pola hidup vegetarian dengan mengurangi secara signifikan jumlah konsumsi daging. Dengan berkurangnya permintaan daging, maka limbah peternakan yang dihasilkan juga akan menurun. Dalam mendukung gagasan ini, diperlukan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan LSM sebagai media sosialisasi.

Daftar Pustaka

Ching Hai. 2009. LSM Harus Memajukan Gerakan Vegan. (terhubung berkala) http://www.pemanasanglobal.net/solusi/LSM-Harus-Memajukan-Gerakan-Vegan.htm. (7 September 2011)

_____. 2009. Contoh Teladan Pemerintahan yang Baik. (terhubung berkala) http://www.pemanasanglobal.net/solusi/Contoh-Teladan-Pemerintahan-yang-Baik.htm. (7 Juni 2011)

_____. 2009. Vegan adalah Solusi Tercepat dan Paling Hijau. (terhubung berkala) http://www.pemanasanglobal.net/solusi/Vegan-adalah-Solusi-Tercepat-dan-Paling-Hijau.htm. (7 Juni 2011)

Foley, G. 1993. Pemanasan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sugiyono, A. 2010. Polusi Udara. Karya Ilmiah. Universitas Mercubuana.

Winarso, P.A. 2009. Pemanasan Global dan Reduksi C02. Karya Ilmiah. Akademi Meteorologi dan Geofisika Jakarta.

Sekian. . . . Semoga bermanfaat. . . . Ka-Chaw!!

Bogor, 16 September 2011

No comments:

Powered by Blogger.