[Cerpen] : The Last Strike (Epilog)


Miss Elena di sini. Silakan tinggalkan pesan Anda, setelah bunyi beep. Beeep...” Lagi-lagi suara mesin penjawab yang didengar oleh Connor. Biasanya Connor langsung menutup teleponnya jika mendengar itu, namun kali ini Connor memutuskan untuk meninggalkan pesan.
“Aku minta maaf Elena. Aku hanya ingin bertemu denganmu, meskipun aku tidak tahu harus apa ketika bertemu kau. Telepon balik jika kau di situ.” Selesai berbicara, Connor menyalakan mesin motornya, menuju ke arah HQ. 

“Kau mendapat tawaran tugas yang menarik, Connor. Aku sudah membaca laporan dokter tentang lukamu itu. Sayang sekali kau tidak bisa bertempur lagi dengan kondisi tulang pinggul seperti itu. Kau prajurit yang hebat, Connor.” Kapten Xavier berbicara dari balik meja kayunya.
Connor membaca dengan teliti beberapa berkas di tangannya. Tangannya masih gemetar untuk membolak-balik kertas itu. Traumanya masih belum sembuh total.
“Kapten, bisakah anda memberi saya sedikit waktu untuk memikirkan tugas baru ini?” Connor masih ragu-ragu dengan tawaran itu. Dia akan ditempatkan sebagai perwira setingkat Kolonel yang banyak membidangi pekerjaan administratif.
Connor menunggu respon Kapten Xavier yang sedang sibuk menyalakan cerutunya. Setelah menghisap cerutunya dengan sekali hisapan, Kapten Xavier menghembuskan asap tebal melalui mulut dan hidungnya.
“Aku bisa mengerti, Connor. Silakan hubungi Kolonel Dan, tentang keputusanmu dalam dua minggu ini. Pergilah, jangan buang waktu liburmu dengan berlama-lama di tempat ini.” Kapten Xavier menutup pertemuan itu. Connor berdiri memberi hormat, lalu melangkah keluar. Sampai di parkiran, handphone-nya berdering, nomor tak dikenal.
“Ya, halo? Siapa ini?” Connor menjawab telepon itu dengan nada tegas.
“Apakah betul ini kau, Connie?” Suara lembut itu terdengar oleh telinga Connor.
“Ah, Elena? Aku tidak salah kan? Aku meneleponmu berkali-kali, tapi...” Belum selesai Connor bicara, gadis bersuara lembut itu sudah menyela.
“Aku sudah mendengar pesanmu, Connor. Aku selalu di rumah beberapa bulan ini. Aku hanya bingung harus bagaimana menjawab teleponmu. Maafkan aku. . ., Connie.”
“Aku yang seharusnya minta maaf, Elena. Aku harap kau bisa mengerti, aku sangat merasa bersalah.”
“Tidak perlu dibahas lagi. Aku rasa, aku sudah bisa menerimanya.”
“Baik lah.” Hanya itu jawaban Connor, dia sudah kehabisan kata-kata, hanya bisa diam berdiri, sambil memegang handphone-nya. Elena sedang bingung, ada hal yang mengganggu pikirannya, tapi dia masih ragu-ragu untuk mengatakannya.
“Connor, kau masih di sana?” suara itu terdengar lagi.
“Iya, Elena.”
“Kau tahu, aku sebenarnya mulai bingung dengan kata-katamu waktu itu.”
“Maksudmu, kata-kataku yang mana?”
“Saat bertemu di camp. kau bilang bahwa dia yang aku cintai pasti akan kembali. Kau ingat?”
“Ah waktu itu, iya aku ingat.”
“Aku hanya bingung, yang kau maksud dengan ‘dia’, apakah Kevin atau kau, Connor?” Suara itu melemah, disusul suara terisak tertahan.
“Kau tidak apa-apa, Elena??”
“Aku tahu, kau pun tidak begitu yakin dengan maksud kata-katamu sendiri, benar begitu kan?”
Connor hanya diam, sambil menelan ludah.
“Connor, bisakah kau menemuiku sekarang? Rasa-rasanya aku tidak mampu menanggung kepedihan ini sendirian.” Tangisan gadis itu semakin jelas, merusak suara lembutnya.
“Elenaa. . .”
“Aku tunggu kau di sini, Connor.” Telepon itu terputus.
Connor berpikir sejenak, dia menimbang-nimbang pilihannya. Setelah menarik napas panjang, dia kemudian menaiki motornya, memacu motornya secepat mungkin menuju rumah Elena. Dia bingung apakah harus merasa bahagia, atau ikut menangis.


***Selesai***

No comments:

Powered by Blogger.