Ronggeng Dukuh Paruk : Novel Lawas yang Melegenda


Sekedar mau cerita, beberapa hari yang lalu saya baru kelar baca novel karya Ahmad Tohari : Ronggeng Dukuh Paruk. Waktu saya masih kecil pernah denger judul itu karena dimuat di sebuah koran lokal dengan sistem cerita bersambung, tapi waktu itu belum punya hobi baca novel, yaiyalah masih ingusan, hehe. Baru muncul rasa penasaran setelah di-film-kan dengan judul “Sang Penari”, beli novelnya tapi baru dibaca setahun kemudian, haha.

Ada banyak rasa kagum saya dengan si Penulis, bagaimana di tahun 80-an sudah bisa menghasilkan kosakata yang modern, tidak terlalu mendayu-dayu, dan dijamin gaya bahasanya tak lekang oleh waktu. Menggunakan latar waktu saat Indonesia sedang dilanda rusuh gara-gara pemberontakan PKI, Ahmad Tohari juga bisa membuat alam seakan berbicara, sesuatu yang jarang ditunjukkan oleh penulis zaman sekarang. Saya membayangkan berapa lama si Penulis melakukan riset untuk bisa menceritakan alam secara detail, pastinya beliau memang orang yang menghabiskan hidupnya di pedesaan.
Selain penggambaran latar yang alami, ada kesan ‘seronok’ atau vulgar di beberapa bagian, agak risih juga saat membacanya. Tapi satu hal paling berharga dari novel ini adalah kita bisa mendapat gambaran bagaimana kondisi masyarakat pasca kemerdekaan yang tinggal di pinggiran desa. Tentang lingkungannya, tentang kepolosannya, dan juga tentang pola pikirnya.

Tokoh utama dari novel ini adalah Srintil, perawan desa yang mempunyai bakat alami menari ronggeng, dan Rasus, bocah polos yang menjalani cinta terlarang karena naksir dengan teman kecilnya yang sekarang menjadi ronggeng. Perjalanan cinta yang disajikan bukanlah yang menye-menye, melainkan lebih realistis dan manusiawi. Dengan segala keindahan cerita dan bahasanya, disempurnakan oleh ending yang tragis, membuat novel ini menjadi legenda.

Banyak konflik batin yang menyajikan ajaran tentang “keibuan” dan “kewanitaan” di sini, bahkan cukup mudah diselami oleh laki-laki (saya misalnya). Memang, budaya Jawa sangat menonjol di dalam cerita, namun saya yakin nilai-nilai yang disampaikan bisa menjadi universal. Bagi para penikmat cerita, novel ini bisa jadi selingan di tengah badai Tere Liye, Dee, Kang Abik, dan JK Rowling.

1 comment:

  1. Aku baca waktu jaman di Asrama. Hahaa tapi film nya malah g nonton. JK Rowling belum nih..masih ragu

    ReplyDelete

Powered by Blogger.