Cerpen : “Kak, aku tidur dulu ya. . .”

“Kak, aku tidur dulu ya. . .”

Kira-kira genap satu tahun, tiap malam aku menerima message itu. Kadang aku langsung balas, tapi lebih sering hanya aku baca sekilas. Kamu tak pernah protes untuk meminta balasan, mafhum. Walaupun sebenarnya aku hanya malas saja, tapi kamu selalu mengasumsikan aku sedang sibuk. Sudah jarang ketemu, jarang balas SMS pula, kurang aneh apa hubungan kita ya. Aku khawatir kamu iri dengan pacar teman-temanmu, yang selalu setia, mondar-mandir bareng, tapi sejauh ini tak ada komplain apa-apa, aku anggap tak masalah.

Aku masih ingat momen pertama kali kita ketemu. Dengan muka masih polos, kamu ku bentak-bentak di kegiatan ospek. Tatapanmu datar, cuek, tak bergeming. Mungkin bagimu aku kurang galak, tapi samping kanan kirimu sudah menciut takut. Kalau aku jadi kamu, aku pura-pura takut, sebagai bentuk menghargai usaha aktingku, tapi kamu nggak ada sopan-sopannya, dasar. Pas ospek selesai, entah kenapa kamu paling heboh meminta nomer ponselku, aku sempat ge-er gara-gara itu. Modus, begitu remaja sekarang menyebutnya. Aku baru sadar modusmu itu hanya pura-pura, bahkan sampai setahun setelah momen itu, ponselku tak pernah kamu hubungi. Pura-pura galak, dibalas dengan pura-pura terpesona, okeh fine!



Kita ketemu lagi, kali ini di gedung wisuda saat acara seminar. Kamu jadi MC-nya, sedangkan aku jadi moderator di salah satu sesi. Lagi-lagi kamu mengerjaiku, menanyakan hal-hal konyol di depan peserta seminar, seperti “Menurut mas, penampilanku cantik nggak? Kurang gimana?” Ah, aku nggak kaget kamu bisa berakting menel. Awas saja.

Kesempatan berikutnya, giliran kamu yang aku bikin malu, lebih tepatnya risih. Kamu terjepit, tertimpa motormu sendiri di parkiran. Tadinya aku ketawa, tapi melihatmu tak bangun-bangun, aku terpaksa menolongmu. Kakimu berdarah, banyak, ada bekas luka sobek di situ, kamu meringis kesakitan. Aku menemanimu saat tiga jahitan itu membuatmu menangis sepanjang malam, di rumah sakit. Paginya, setelah sakitnya mereda, aku mengejekmu habis-habisan, dan baru pertama kali itu aku melihat wajahmu cemberut. Aku tak sempat pamitan, kamu tertidur dan mendadak aku harus balik ke kampus, ada urusan penting.

Seminggu setelah itu, kamu mengirim SMS, menanyakan apakah aku ada waktu kosong, kamu bilang mau mentraktir makan sebagai ucapan terima kasih. “Anak ini lebay juga, ga perlu pake acara makan juga keleeuss.” Hampir saja aku memutuskan menolak, tapi aku teringat wajah cemberutmu itu, mungkin tak ada salahnya mengosongkan sedikit waktu, pikirku.

Kamu menungguku di luar sekretariat himpunan, di depan mading. Aku bilang aku agak telat karena masih ada persiapan kegiatan yang harus dibahas. Ketika aku tiba-tiba keluar, kamu seperti tersentak kaget, senyummu beda, belakangan aku tahu kamu kaget karena melihat namaku ada di bawah tulisan “Ketua Umum” di mading itu. Mendadak kamu menunjukkan respek yang berlebihan, tak seperti biasanya. Ku biarkan saja kamu terjebak dalam kegugupan. Pembalasan part two, kata otak jahilku.

“Maaf kak, saya nggak tahu kalo kakak itu kahim, maaf banget udah menyita waktu kakak.” Katamu sambil tertunduk ke arah papan menu. Dalam hati aku tertawa menang. Aku mencoba bertanya banyak tentangmu, demi menghilangkan rasa ‘tidak enak’mu. Sikap baikmu malam itu, lantas menghilangkan semua rasa sebalku selama ini, menurutku itu cukup manusiawi.

Hari-hari berikutnya, kamu semakin bersemangat. Bersemangat mengganggu konsentrasiku dengan ‘PING’-mu, bahkan dalam sehari jumlahnya melebihi hitungan jariku yang kapalan. Akan lebih banyak lagi kalau aku sengaja nge-read tanpa merespon. Hampir saja aku merasa seperti seorang selebriti yang dikejar-kejar fans. Tapi setelah aku biarkan, kamu jadi bosan sendiri. Yes, usahaku berhasil juga.

Sampai suatu hari, kita ketemu di gedung itu lagi, di sebuah acara pentas kebudayaan antar daerah. Aku yang duduk di kursi undangan, seakan tak percaya dengan penampilanmu. Kamu dengan anggun memakai kebaya panjang warna krem, berenda dari pundak sampai pergelangan tangan, dihiasi payet yang memantulkan silau kristal. Jilbab dengan warna senada, membalut kepala, dililitkan ke leher dan ujungnya tak terlihat, mungkin dimasukkan ke dalam kebaya (aku tak tahu soal jilbab modis seperti itu). Kain motif parang, yang panjangnya sampai mata kaki, serasi dengan sepatu hak tinggi putih yang menyisakan sedikit punggung kakimu. Entah tukang make-up nya yang ahli, atau memang wajahmu yang cantik, tapi malam itu kamu terlihat ‘cewek banget’. Aku mulai merasa cemburu dengan laki-laki yang menjadi pasanganmu dalam membawakan acara itu. Barangkali hanya aku di gedung itu yang lebih menikmati saat-saat kamu tampil, daripada saat parade pentas-pentas seni itu dipertontonkan.

Selesai acara, kamu menghampiriku, menarikku ke panggung, dan kita berfoto bersama. Kamu menyilangkan tanganmu di antara siku dan pinggangku, aku sengaja berdiri dengan mode cool, keserasian itu terasa lengkap dengan senyum yang sempurna. Itu menjadi foto yang paling aku banggakan selama menjadi mahasiswa, melebihi foto-foto keren saat aku berorasi di mimbar kehormatan.

Kisah selanjutnya bisa ditebak, kita mengalami masa-masa ‘pendekatan’, hingga ‘jadian’. Ah, jadi berasa seperti di sinetron-sinetron itu yah, benci jadi cinta. “Tapi aku yakin kisah kita lebih indah kok” Kamu mencoba membela diri.

Aku suka gedung fakultasmu. Dindingnya punya warna yang khas, warna kebanggaan fakultasmu. Kita sering makan siang bareng, jauh-jauh aku berjalan kaki dari ruang kuliahku, menuju kantin fakultasmu. Beberapa kali aku telat datang, karena aku bingung dimana letak kantinnya, fakultasmu memang sering bikin orang kesasar. Sepanjang kita makan kamu mengejekku habis-habisan. Seperti biasa, renyah sekali tawamu saat membuat aku malu.

Kamu suka bunga. Bunga itu memancarkan keindahan dalam diam, katamu sambil mencoba meniru gaya penyair jaman dulu. Kegilaanmu pada bunga, memaksaku mengiyakan rengekanmu untuk main ke taman bunga di daerah Puncak. Tak cuma itu, kamu memaksa untuk berfoto selfie, menggunakan background taman, ditambah posemu yang alay, menambah kehancuran imageku yang terkenal maskulin banget. Ah, aku tak pernah memasang foto-foto itu di display picture BBM-ku.

Kita hobi saling menertawakan logat asli masing-masing. Ketika kamu baru balik dari kampungmu, logat sundamu masih terbawa-bawa. “Abi teh nggak bisa kak, perginya besok weh, gimana?”. Tapi kamu heran karena aku bisa menyamarkan logat medhok ala orang jawa. Kita juga suka tukar oleh-oleh, aku doyan banget sama dodol coklat dari kotamu. Atasan batik khas kotaku sesekali kamu pakai untuk kuliah. Bahkan kamu masih menyimpan goody bag tokonya.

Kamu tergila-gila dengan ikan, sama seperti sebagian besar teman kuliahmu. One day One fish, mungkin itu istilah tepat untuk laukmu sehari-hari. Pernak-pernik di kamarmu semuanya soal ikan, yang paling besar pastinya bantal gulingmu yang bentuknya ikan badut mirip di film animasi Amerika. Sedangkan aku tak suka ikan, makan pun jarang. Aku agak trauma karena waktu kecil pernah menelan duri ikan, yang berujung di UGD, duri itu nyangkut dan melukai kerongkongan. Untuk urusan ini, kamu memakluminya, memang banyak orang yang punya trauma akibat kejadian di masa kecil.

Salah satu tingkah nekatku adalah mengajakmu mudik ke kampung halamanku. Itu jadi perjalanan terpanjang yang kita lewati. Macet dan jalan rusaklah penyebabnya. Jalur ke kotaku memang langganan macet, dan butuh satu setengah hari duduk di kursi bus, padahal biasanya cuma 8 jam kalau lancar. Ku kenalkan kamu pada ibuku, wanita terhebat dan penuh kasih. Ku kenalkan pula kepada ayahku, sang guru agama terbaik bagiku. Aku tahu, sehari saja kamu bisa akrab dengan orang-orang seisi rumah. Aku senang melihatnya.

Aku tahu kamu suka menulis, semua karya sastra sudah pernah dibuat. Puisi, cerpen, novel, esai, dongeng. Ah kamu juga pintar mendongeng, keponakanku suka semua cerita-ceritamu. Kamu bisa menyulap hikayat kuno menjadi hidup di imajinasi mereka. Kamu itu seperti paket lengkap full service bagiku. Apa yang ada pada dirimu, aku suka. Hingga belakangan ini aku mulai ‘berani’ menyebut namamu di dalam doaku. Asa itu begitu indah.

***


Sekarang sudah tengah malam, aku harus menerima bahwa mulai malam ini, aku tak akan pernah menerima SMS itu lagi. Pikiranku bak anai-anai yang tertiup angin, melayang-layang. Kadang terbayang senyummu, kadang tawamu, kadang tatapanmu, entah apalagi, yang jelas semua itu tak nyata. Bukankah kamu pernah bilang, kamu sangat membenci perpisahan? Dulu aku heran, kamu dibuat sedih oleh film animasi yang menampilkan ikan badut yang tiba-tiba terpisah secara tragis dari ayahnya, itu hanya film, animasi pula. Tapi setelah hari ini, kamu benar, hingga aku pun mulai benci perpisahan.

Tadi pagi, kamu pamit mau ke Jakarta, ada panggilan presentasi kerjasama. Aku hanya menjawab iya, berpesan untuk berhati-hati. Hari ini agendaku juga penuh, bolak-balik Kota-Kampus, koordinasi penyelenggaraan event terbesar himpunanku tahun ini. Aku bahkan tak sempat menanyakan kamu pergi dengan siapa, naik apa, bla bla bla. Memang aku biasanya begitu ya?

Tapi sore itu, di sela-sela istirahatku, aku mengetik beberapa kalimat,

Aku      : Udah selesai? Lancar kan?

Kamu : Alhamdulillah. Dapet respon positif, kakak gimana persiapannya? Udah makan siang?

Aku      : Alhamdulillah. . . Udah kok, tebak makan apa :P

Kamu : Ihh,, lagi nganggur ya? Sempet-sempetnya becanda :D

Aku      : Haha, yaudah nggak jadi,. -_____-

Kamu : Iya2, lagi makan Mie Ayam Bangka porsi dobel ga pake sambel, puas?! Benerkan tebakanku,.

Aku      : Haha, oke2, sekarang tebak lagi, aku makan sama siapa hayo?

Kamu : Emmm,, Kak, boleh ngomong sesuatu nggak?

Aku      : Eh kok dicuekin sih, tebak duluu. . .

Kamu : Kak, aku nggak masalah hari ini atau besok-besok km makan sama siapa. Aku ngantuk nih kak. . .

Aku      : Kok jawabanmu nggak nyambung gitu sih? Km sehat?

Tak ada balasan apapun darimu.

Sejam kemudian, aku baru tahu kenapa obrolan kita terputus. Jantungku berdegub cepat, memompa darah sebanyak mungkin ke seluruh tubuh, tapi anehnya tanganku malah kedinginan, gemetar. Aku tak percaya, sambil berulang kali mengeja namamu. Otakku berpikir kemungkinan yang lain. Tapi dulu kamu pernah bilang bahwa tak ada orang punya nama yang sama dengan namamu.

Lututku menghantam keramik putih di kantin itu, kepalaku menunduk, aku bingung memilih pasrah atau panik. Sesaat kemudian orang-orang mengerumuniku, pandanganku tiba-tiba gelap, suara terakhir yang aku dengar adalah “itu kan nama ceweknya. . . “ seseorang menunjuk siaran breaking news di televisi, dengan judul berita “Tabrakan Maut KRL di Jakarta Selatan”.

***


Kemarin malam kamu masih mengirim pesan itu, “Kak, aku tidur dulu ya. . .” sungguh seperti biasanya, tak ada yang aneh. Huruf-huruf itu terbayang begitu saja saat aku bangun. Ya, kamu telah tidur sayang, semoga ketika kamu bangun lagi, Tuhan memancarkan cahaya dari wajahmu yang cantik itu. Amin.

1 comment:

  1. Astaghfirullah..tadinya aku cengengesan...trus gemeter bacanya

    ReplyDelete

Powered by Blogger.