[Cerpen] Tahta Norinaga


Pedang itu terhunus ke depan. Logamnya mengkilat terkena cahaya bulan. Terlihat bercak merah melumuri bagian tajamnya, mengalir dan sesekali menetes ke tanah. Dua telapak tangan menggenggam erat gagang pedang. Eiji, sang pemilik pedang, menatap tajam penuh amarah ke arah orang yang berdiri di depannya. Api seakan menyala dari bola matanya, menguapkan hawa dingin di tepi jembatan itu.
“Kau marah sekali, Eiji?” Orang itu memulai percakapan, atau lebih tepatnya basa-basi. Wajahnya menyeringai penuh kelicikan. Eiji tidak merespon, hanya dengusan napas terengah-engah yang terdengar. Matanya tetap menatap tajam.
“Norinaga membutuhkan sosok yang kuat dan berani. Dan orang tua itu sangat menyedihkan, terbuai dengan kesetiaan palsu dari orang-orang di sekitarnya.”
“Diam kau pengkhianat!! Aku tidak butuh alasanmu!” Eiji berteriak kencang seraya memejamkan matanya, mencoba menepis perasaan sedih yang bercampur dengan marah. Genggaman pedangnya mulai melemah, wajahnya meringis. Eiji mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Orang dihadapannya menyunggingkan senyum kemenangan.

“Eiji. . . Kau orang yang naif. Kau sendirian Eiji, sedangkan aku punya segalanya.”
Suasana menjadi semakin hening dan mencekam. Bulan yang sejak tadi bersinar, perlahan-lahan meredup dihalangi awan tipis. Dari arah timur, gumpalan awan gelap bergerak menggulung menutupi langit, diiringi petir-petir kecil. Istana Norinaga terlihat muram di belakang sana, bangunan megah nan menjulang itu terlihat semakin tua dan ringkih. Kejayaannya sudah termakan zaman, pesonanya sebagai penguasa Jepang Selatan semakin memudar.
Di tepi jembatan itu, belasan tubuh bergelimpangan, sebagian besar sudah menjadi mayat, sedangkan sisanya tinggal menunggu waktu saja, sekarat. Tepat di belakang Eiji, tergeletak sesosok mayat dengan dada robek. Darah membasahi seluruh pakaian mayat itu. Darah itu pula lah yang membasahi pedang Eiji saat ini.
“Aku beri kau pilihan, ikuti aku, atau mati. Sederhana saja.”
Eiji masih terdiam. Dia berusaha sekuat tenaga mengumpulkan sisa-sisa keyakinannya yang tercerai-berai. Terbayang di pikirannya wajah Kaisar, betapa kasihannya orang tua itu jika melihat apa yang sekarang terjadi. Belum hilang bayangan wajah Kaisar, kini muncul bayangan wajah Putri Aoki, gadis itu bisa saja terancam jika tidak mau bergabung dalam pengkhianatan ini.
Sisa bulir darah kembali jatuh dari pedang Eiji. Sementara itu, tumpukan awan tebal makin sempurna menutupi lingkaran bulan.

***
Malam hari sebelumnya.
“Kau tidak apa-apa, Tuan Putri?” Eiji berlutut seraya mengguncang pelan kedua pundak Putri Aoki. Tubuh Putri Aoki hanya bisa bersimpuh tak berdaya, jiwanya masih kalut, terlihat dari tatapannya yang kosong. Dia baru saja menyaksikan bagaimana Ayahnya ditikam berkali-kali hingga tewas.
“Eiji, cepat kau ikut kejar penyusup itu!” Ryusei setengah berteriak panik. Eiji mengangguk dan segera meloncat keluar dari jendela kamar Kaisar, menyusul para pengawal untuk mengejar penyusup yang baru saja kabur.
Ryusei sejenak memperhatikan Putri Aoki, tidak terlihat ada luka fisik padanya. Setelah itu Ryusei mengumpulkan beberapa pengawal istana, mengistruksikan beberapa hal.
“Dengar, aku ingin orang luar tidak tahu bahwa Kaisar mati karena dibunuh. Untuk sementara, perketat penjagaan istana, tambah pengawal di semua pintu ruangan, dan segera urus jasad Kaisar.”
“Baik Tuan Muda.” Kepala pengawal menjawab perintah Ryusei dan segera berlari meninggalkan kamar Kaisar.
Ryusei berusaha untuk tenang walaupun pikirannya dipenuhi kecemasan. Sementara itu, Putri Aoki tiba-tiba histeris, berlari merengkuh jasad Kaisar, menangis sejadi-jadinya
***
Keesokan harinya, istana diliputi suasana berkabung yang amat dalam. Upacara pemakaman Kaisar baru selesai dilakukan. Tidak seperti lazimnya, pemakaman dilakukan begitu tertutup tanpa mengundang tamu dari klan-klan sekutu. Setelah selesai pemakaman, Ryusei memanggil Eiji ke ruangannya.
“Eiji, kau sempat bertarung singkat dengan penyusup itu, apa pendapatmu?”
“Dia bukan samurai biasa, Tuan. Aku serang dia dengan kecepatanku, tapi dia masih bisa menangkisnya. Setelah itu dia melarikan diri.”
“Dia pasti juga sangat lihai dalam pekerjaan ini, sejauh ini tidak ada jejak darinya yang bisa kita temukan.” Ryusei sudah hampir putus asa mencari tahu siapa penyusup yang telah menikam ayahnya, atau setidaknya berasal dari mana, musuh, klan sekutu, ataukah kelompok pemberontak.
“Menurutku belum tentu penyusupnya benar-benar lari, Tuan Muda.”
“Apa maksudmu Eiji?” Ryusei memicingkan matanya menatap Eiji. Seorang prajurit menghampiri Ryusei dan berlutut di depannya. “Tuan Muda, rombongan Guru Genta dan pasukannya sebentar lagi tiba di istana.”
“Bagus, segera siapkan pertemuan untuk membahas kejadian ini, undang Guru Genta dan semua Jenderal.”
“Baik, Tuan Muda.” Pengawal itu pergi meninggalkan Ryusei.
“Maaf Tuan, apakah aku diundang ikut pertemuan itu?” Tanya Eiji.
“Tidak perlu Eiji, lebih baik kau menjaga adikku seharian ini.”
“Tapi Tuan Muda, barangkali aku bisa membantu mencari pelakunya.”
Ryusei tersenyum lalu menepuk bahu Eiji, “Lakukan saja tugasmu, Eiji. Setelah Kaisar tiada, satu-satunya orang yang butuh dilindungi adalah Putri Aoki.” Ryusei memberi isyarat agar Eiji segara meninggalkan ruangan.
***
Putri Aoki duduk di pinggir kolam dengan takzim, tangannya sedang menabur pakan untuk ikan-ikan kesayangannya. Dari raut wajahnya, sepertinya dia sudah lebih tenang, tidak ada bekas tangisan histeris semalam.
Putri Aoki masih sangat muda. Wajahnya cerah, senada dengan kulitnya yang putih bersih. Alisnya tipis, menaungi matanya yg bersudut agak tajam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai sampai ke punggung. Poninya tertata anggun, tipis melengkung, dan ujungnya menggantung hampir menyentuh dahi. Tubuhnya ramping namun tidak kurus, tingginya kira-kira sebahu laki-laki dewasa.
Putri Aoki membungkukkan badannya, berusaha menyentuh ikan-ikan yang sedang berebut makanan di permukaan kolam. Sesekali tangannya menyibak rambut yang menutupi telinganya.
“Ehem, ikannya sudah besar-besar ya sekarang, Tuan Putri.”
Putri Aoki sedikit terkejut oleh suara yang berasal dari belakangnya, menoleh sebentar, lalu tersenyum. Bibir tipisnya merekah.
“Ya, kau benar, Eiji, sudah setahun lebih sejak kau menghadiahkan ikan-ikan ini kepadaku.” Kali ini Putri Aoki menaburkan pakan di sekitar mata kakinya yang tercelup air. Ikan-ikan berlompatan. Beberapa kali sirip-sirip ikan itu mengenai kakinya yang putih. Putri Aoki tertawa kecil menahan geli. Eiji mengambil posisi duduk di samping kiri Putri Aoki.
Eiji memang dekat dengan Putri Aoki, sejak kecil mereka adalah teman bermain. Setelah remaja, mereka sama-sama dilatih oleh Guru Genta. Eiji belajar ilmu pedang, sedangkan Putri Aoki berlatih memanah. Sudah beberapa tahun ini Eiji mendapat tugas sebagai pengawal khusus keluarga Kaisar, sedangkan Guru Genta menjadi komandannya.
“Eiji, bagaimana kabar terakhir pembunuh ayahku?”
“Ah masih belum ada petunjuk. Banyak kemungkinan, tapi aku berharap orang itu berasal dari luar istana, klan musuh misalnya.”
“Memang ada kemungkinan dia berasal dari dalam istana, Eiji?”
“Sejauh ini peluang itu masih ada.”
“Itu mengerikan sekali Eiji.” Bibir tipis Putri Aoki terkatup rapat, wajahnya pucat, teringat peristiwa tadi malam ketika dia masuk ke kamar ayahnya dan menyaksikan peristiwa pembunuhan Ayahnya.
“Oh iya, Guru Genta sebentar lagi tiba di Istana, dia baru menyelesaikan misi pengawasan di Utara. Siang ini juga akan dilakukan pertemuan untuk membahas kejadian semalam.”
“Oh ya? Aku sudah sangat rindu dengan Guru Genta, aku bosan kalau berlatih memanah sendirian. Eh,  kau akan datang juga di pertemuan itu?”
“Kalau aku ikut, siapa yang menjagamu Tuan Putri? Bisa jadi pembunuhnya masih berkeliaran di sekitar sini.”
“Itu tidak lucu Eiji.” Putri Aoki bersungut-sungut, memanyunkan bibir tipisnya. Eiji cuma menyeringai.
“Bicara soal Guru Genta, aku masih punya hutang padanya. Aku berjanji akan menyempurnakan teknik terakhir Shiranui Ryu-ku. Aku tak sabar menunjukkan kepadanya.”
“Maksudmu jurus yang semalam kau gunakan untuk melawan penyusup itu?”
“Ya, kau benar Tuan Putri. Aku sudah berhasil menguasainya, itu artinya sekarang aku setara dengan Guru Genta, atau mungkin lebih hebat.”
“Dari dulu kau tidak pernah berubah, kau sangat keras berusaha, aku kagum padamu Eiji.” Eiji hanya bisa menunduk dan tersenyum canggung dipuji seperti itu. Eiji tak menyadari Putri Aoki sedang menatap lekat-lekat dirinya.
***
Hari sudah mulai gelap. Terlihat kesibukan para pelayan yang sedang menyalakan lampu-lampu yang ada di istana. Putri Aoki memasuki halaman istana dengan langkah terburu-buru, Eiji mengikuti di belakangnya. Mereka baru saja mendengar kabar bahwa Guru Genta akan meninggalkan istana setelah mengetahui kejadian semalam. Di ruang utama istana, Guru Genta dan Ryusei telah menunggu.
“Aoki..!! Eiji..!!” Guru Genta menyambut kedatangan mereka dengan senyuman hangat.
“Guru, kenapa Guru memutuskan pergi??” Putri Aoki langsung bertanya tajam ke Guru Genta, melampiaskan kekecewaannya.
Orang tua itu terdiam, senyumannya berganti dengan wajah murung penuh sesal. Setelah menghebuskan satu napas panjang, Guru Genta menjawab.
“Aku sudah tidak pantas lagi mengabdi di sini, Aoki, aku sudah gagal.”
“Tidak Guru!! Kejadian ini bukan hanya tanggungjawabmu, Guru masih dibutuhkan di sini, dan Guru juga. . .”
“Aku sudah membujuknya Aoki, dia tetap tidak mau.” Ryusei memotong perkataan Putri Aoki. Dia ganti menatap kesal kakaknya itu.
“Kakak, kakak kan calon Kaisar, kenapa kakak tidak memerintahkan Guru Genta untuk tetap tinggal?” Ryusei terhenyak dengan perkataan adiknya.
“Aoki, aku tidak mungkin memaksa seperti itu.” Ryusei menjawab singkat, tidak ingin berargumen panjang lebar. Jawaban itu malah membuat Putri Aoki makin tidak terima bahwa Guru Genta akan meninggalkan istana, matanya mulai berkaca-kaca. Guru Genta menatap pasrah melihat kekecewaan salah satu murid kesayangannya itu.
“Guru Genta,” Eiji yang sejak tadi hanya menjadi penonton, kini ikut bicara. Guru Genta mengalihkan pandangannya ke Eiji.
“Guru adalah samurai terhebat di Norinaga. Jadi, aku mohon. . .”
“Tidak Eiji! Kau sudah jadi yang terhebat sekarang.” Guru Genta refleks membentak Eiji.
“Eh??” Eiji bingung. Putri Aoki yang tadi mulai terisak, ikut menoleh.
“Aku harus pergi, maafkan aku, Aoki, Eiji.” Guru Genta terlihat tidak nyaman, dia segera balik badan dan melangkah ke luar istana.
“Eiji, apa kau berpikir sama dengan yang aku pikirkan?” Putri Aoki, setengah berbisik.
“Ya, tentu saja.”
“Apa yang kalian bicarakan?” Tanya Ryusei penasaran. Eiji berlari mengejar Guru Genta. “Guru Genta!! Tunggu!!”
Belum jauh Eiji berlari, lajunya terhenti di pelataran istana karena dihadang oleh tiga anggota pengawal Kaisar.
“Biarkan Guru Genta pergi.” Bentak seorang pengawal.
Melihat gelagat tidak enak dari pengawal itu, Eiji mencabut pedangnya. “Biarkan aku lewat atau aku terpaksa melukai kalian.”
Mungkin para pengawal itu tidak berharap Eiji menentangnya, tapi mereka sudah menduga reaksi Eiji, mereka ikut menghunus pedang masing-masing.

“Hei!! Apa yang kalian lakukan?!” Ryusei berteriak, namun terlambat, tangan mereka sudah mengayunkan pedangnya. Suara dentingan pedang mulai terdengar.
Pertarungan Eiji melawan tiga pengawal itu cukup berat, mereka sama-sama murid Guru Genta. Eiji terdesak dan sudah mundur beberapa kali untuk menghindari serangan. Melihat itu, Ryusei ragu-ragu harus melakukan apa, sementara itu sudah banyak penghuni istana yang keluar menyaksikan kejadian itu. Ryusei semakin gelisah.
“Kakak! Cepat bantu Eiji!!” Putri Aoki mengguncang tubuh Ryusei.
Eiji berkali-kali hampir terkena sabetan pedang, jika bukan karena kegesitannya mungkin dia sudah terluka parah. Untuk kesekian kali, ketiga pengawal itu menyerbu bersamaan, belum sempat pedang mereka saling beradu, dua orang pengawal jatuh tersungkur. Ryusei menebas mereka dari belakang dengan Nitouryu-nya, pedang kembar. Selanjutnya Eiji dengan mudah menangkis serangan dan menusuk satu orang pengawal tersisa. Tiga orang itu sudah terkapar, darah berceceran di pelataran istana.
“Kenapa mereka menyerangmu, Eiji?!” Ryusei belum paham dengan apa yang terjadi.
“Penyusup yang aku lawan semalam, dia adalah Guru Genta!!” Eiji bergegas mengejar Guru Genta, Ryusei yang terlihat bingung menyusul di belakangnya.
Menurut perkiraan Eiji, pertarungan dengan tiga pengawal tadi memberikan waktu yang cukup lama bagi Guru Genta untuk keluar melewati gerbang utama. Namun perkiraannya salah, dia menghentikan langkahnya ketika sampai di tepi jembatan, karena di ujung jembatan yang lain ada belasan pengawal berkumpul. Guru Genta berada di balik kerumunan pengawal, seolah sengaja menunggu kedatangan Eiji. Ryusei juga berhenti di samping Eiji. Guru Genta nampak terkejut ketika Ryusei langsung menghunus Nitouryu-nya.
“Guru! Kau sudah mengakuinya sekarang, jika kau tak bersalah tentunya pengawal-pengawal itu tidak perlu menyerangku.”
“Ini untuk kebaikan Norinaga, Eiji!!” Guru Genta menjawab dengan lantang.
“Hyaaa...!!!” Tanpa diberi aba-aba, belasan pengawal itu kompak berteriak dan menyerbu ke arah Eiji dan Ryusei yang sudah bersiap. Pertempuran hebat pun tidak terelakkan.
Dua pengawal langsung roboh oleh sabetan pertama dari Eiji dan Ryusei. Ryusei dikeroyok empat orang dari segala penjuru, dengan Nitouryu-nya serangan pengawal yang mengerubutinya bisa ditangkis hampir bersamaan. Eiji lebih memilih bergerak menghindari kerumunan agar bisa mengatasi lawannya satu per satu.
Pedang Eiji dan Ryusei mulai menemui sasarannya, beberapa pengawal sudah ambruk dengan luka yang mengerikan. Tidak lama kemudian, hanya Eiji dan Ryusei yang masih berdiri tegak. Mereka berdua bagaikan serigala kembar yang baru saja mencabik-cabik mangsanya.
“Guru! Lawan aku sekarang, akan kutunjukkan lagi teknik Shiranui Ryu­-ku!”
“Kau memang murid yang hebat Eiji, seharusnya aku tidak meladenimu semalam.”
“Demi Norinaga.” Setelah mengucap pelan kata itu, Guru Genta menapaki jembatan itu dengan kecepatan kilat, lalu meloncat untuk menerjang Eiji dari atas. Terjadi dentingan yang sangat keras ketika pedang Eiji menahan serangan itu, dalam sekejap Guru Genta melancarkan tendangan ke perut Eiji dan membuatnya jatuh terpental. Eiji bangkit sambil meringis, lalu bersiap untuk serangan selanjutnya. Pertarungan itu berjalan alot dan seimbang.
Putri Aoki menghampiri Ryusei sedang menyaksikan pertarungan itu, dia datang bersama beberapa pasukan bersenjata lengkap.
“Kau tidak apa-apa Kak?”
“Tidak, tapi Eiji sedang dalam bahaya.” Putri Aoki mengalihkan pandangannya.
“Eiji! Guru Genta! Hentikaaan!!” Putri Aoki berteriak sekeras mungkin. Dia tak percaya melihat dua orang dekatnya itu sedang saling membunuh.
Wajah Eiji dan Guru Genta sudah basah oleh peluh, sama-sama kehabisan napas. Eiji mengalami luka di sobek kaki dan punggungnya, sedangkan Guru Genta tersayat di kedua lengannya. Keduanya seolah mengerti bahwa serangan berikutnya akan menjadi serangan terakhir.
Shiranui Ryu!” Guru-murid itu berteriak hampir bersamaan, sepersekian detik kemudian mereka melesat menebaskan pedang masing-masing.
Guru Genta jatuh telentang, sedangkan Eiji masih sanggup berdiri. Rupanya pedang Eiji lebih cepat mengenai lawannya. Guru Genta memegang luka di dadanya yang cukup dalam, wajahnya tegang, lelehan darah keluar dari mulutnya.
“Ee. . Eiji. . .”
Eiji menoleh, dia membalikkan badan, berlari tertatih mendekati gurunya yang sedang meregang nyawa. Ryusei yang melihat itu segera mendahului Eiji menghampiri tubuh Guru Genta, mengarahkan ujung Nitouryu-nya ke leher Guru Genta. Tapi Eiji masih sempat menahan gerakan Ryusei dengan tangannya.
“Kau. . . Kau memang pengkhianat, Ryusei. . .” Mata Eiji terbelalak mendengar ucapan Guru Genta barusan. Napas terakhir Guru Genta telah dihembuskan.
“Guru!! Tidak!!!” Sia-sia saja Eiji mengguncang tubuh gurunya itu. Dipeluknya kepala Guru Genta sambil menangis, dia amat menyesal karena pedangnya yang mengakhiri hidup gurunya sendiri. Tak berapa lama, tangisannya mendadak terhenti. Pikirannya segera menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi, Kau memang pengkhianat, Ryusei. Kata-kata terakhir Guru Genta itu menjelaskan semuanya. Ryusei ada di balik semua pengkhianatan ini, bersekongkol dengan Guru Genta. Eiji membalikkan badan dan menghunus kembali pedangnya, sekarang dia sangat marah.
***
“Jadi, kau pilih mana Eiji, ikut aku? Atau mati?” Ryusei tersenyum licik. Kini dirinya sudah tidak perlu berpura-pura lagi, semua rencananya telah terbongkar.
Sementara Eiji masih belum bergerak, dia sedang berusaha menguatkan hatinya agar bisa menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa Kaisar telah dibunuh oleh Guru Genta, atas perintah Ryusei. Lalu setelah ini apa? Bagaimana dengan Putri Aoki? Terlalu kejam jika Putri Aoki juga harus menghadapi kenyataan semacam ini. Eiji merasakan pikirannya tidak bisa berhenti berputar-putar. Lamat-lamat dia mendengar suara Putri Aoki memanggilnya. “Eiji!! Eiji!!” Dia membuka matanya dan melihat Nitouryu milik Ryusei sedang diayunkan ke arah badannya. Dengan cepat Eiji berguling ke samping menghindari serangan Ryusei. Nitouryu itu hanya menemui udara kosong.
“Nyaris saja aku bisa membelah tubuhmu menjadi dua. Serangan berikutnya tidak akan gagal, Eiji.” Ryusei menggenggam erat pedang kembarnya.
“Ryusei! Demi Norinaga, kau tidak pantas menjadi Kaisar!” Setelah disadarkan oleh teriakan Putri Aoki, kini Eiji berhasil menguasai dirinya kembali. Dia memposisikan tubuhnya dan bersiap menyerang dengan Shiranui Ryu. Dengan satu hentakan kakinya, Eiji melayang cepat, namun tubuhnya malah terjerembab sebelum bisa menjangkau Ryusei, pedangnya terlepas dari genggaman. Rupanya luka di kakinya makin parah, membuat Eiji tidak bisa menggunakan teknik itu. Eiji mengerang kesakitan sambil memegangi kakinya.
“Pertarungan sudah selesai, Eiji.” Ryusei menyarungkan Nitouryu-nya, berjongkok di depan Eiji yang masih tersungkur. Namun tiba-tiba tangan Eiji meraih leher Ryusei, dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, Eiji mengunci kedua tangan Ryusei dari belakang dan mencekiknya kuat. Dalam posisi berlutut, Ryusei berusaha melepaskan diri, namun dia tak bisa mengeluarkan tenaganya karena tak bisa bernapas. Ryusei menggunakan kepalanya untuk menghantam muka Eiji. Satu tangannya berhasil lepas, namun tangan Eiji yang tadinya mencekik leher Ryusei, kini digunakan mengunci kembali tangan Ryusei yang sempat terlepas.
“Mau apa kau Eiji?!!” Ryusei membentak Eiji.
“Tuan Putri!! Cepat panah Ryusei!! Sekarang!” Tubuh Ryusei yang dikunci oleh Eiji dari belakang, menjadi sasaran mudah bagi pemanah handal seperti Putri Aoki, tapi bagaimana mungkin Putri Aoki tega membunuh kakaknya sendiri?
“CEPAT!!!” Eiji berteriak makin keras. Ryusei meronta hebat. Putri Aoki seperti terhipnotis, dia segera merebut panah dari seorang pasukan di belakangnya, memasang anak panah, membentangkan busurnya, dan sesaat kemudian sebuah anak panah telah terlepas.
Panah itu menembus tubuh Ryusei, tepat di jantungnya. Tubuh Ryusei, dan juga Eiji, ambruk bersamaan. Mereka berdua diam tak bergerak.
***
Kabut tipis menyelimuti istana Norinaga. Di samping kuburan ayahnya, Putri Aoki duduk termenung. Di tangannya ada gulungan lembaran yang bertuliskan kalimat sumpah Kaisar Norinaga. Dibukanya lagi lembaran itu untuk yang sekian kali. Putri Aoki merasa tak sanggup untuk membaca tulisan itu dihadapan rakyatnya nanti. Andai kakaknya masih hidup, pasti Putri Aoki tak perlu menanggung beban seberat saat ini, menggantikan posisi Ayahnya sebagai Kaisar. Tidak! Andai kakaknya bersabar menunggu tahta beralih ke tangannya.
Air mata yang sedari tadi berkumpul di sudut mata, meluncur membasahi pipi Putri Aoki. Di umur yang baru dua puluh, saat gadis lain sedang menikmati masa mudanya, Putri Aoki justru merasakan luka batin yang parah. Rentetan peristiwa seminggu lalu membuat jiwanya terguncang. Wajah yang dulu cantik bersinar, lantas berubah menjadi gelap bagai dinaungi awan hujan.
Suara kaki yang menginjak dedaunan kering, menyadarkan lamunan Putri Aoki, dengan tergesa dia mengusap wajahnya agar bekas tangisnya tak kentara.
“Tidak apa-apa Tuan Putri, aku di sini untuk menemanimu.” Demi mendengar suara itu, Putri Aoki menoleh ke arah pemilik suara itu.
“Eiji...!!” Putri Aoki berdiri, lantas menubrukkan kepalanya ke dada Eiji. “Eiji... Akhirnya, aku sempat berpikir kau tidak akan bangun lagi.”
“Andai Tuan Putri menarik busurnya lebih kuat, nasibku pasti sama seperti orang itu.” Eiji melirik sebuah nisan di sebelah kuburan Kaisar.
Tangis yang tadi terhenti, kini berlanjut lagi, meluap lebih hebat. Kedua tangan Eiji memegang lembut lengan Putri Aoki. Dia hanya bisa membiarkan pakaiannya basah oleh air mata Putri Aoki, sampai perasaannya menjadi lebih tenang.
Di sela-sela tangisnya, Putri Aoki mendongakkan kepalanya seraya berkata, “Eiji, aku benar-benar tidak sanggup membaca sumpah Kaisar ini, aku mohon, bisakah kau membacakannya untukku?” Putri Aoki menatap Eiji dengan penuh harap, bibir tipisnya bergetar.
Eiji sangat terkejut mendengar itu. Membacakan sumpah itu berarti dirinya harus menjadi pasangan Putri Aoki, dengan begitu Putri Aoki bisa menitipkan tahta diwarisinya kepada Eiji sebagai suaminya. Tidak pernah terlintas di benak Eiji, apakah dirinya sanggup menerima permintaan itu. Sebelum berpikir sanggup atau tidak, apakah dirinya pantas?
Eiji mencoba membalas tatapan Putri Aoki. Itu membuat seakan Eiji bisa memasuki ruang hati dan pikiran Putri Aoki lebih dalam. Menyentuhnya, sekaligus merasakannya.
“Tentu saja, aku yang akan membaca sumpah itu, Aoki.” Seketika kalimat itu terlontar dari mulut Eiji. Jawaban dari Eiji membuat wajah Putri Aoki sedikit demi sedikit memancarkan sinarnya kembali. Dinginnya udara pagi yang berkabut sudah tak terasa lagi.

***

1 comment:

Powered by Blogger.