Cerpen : Rona Merah di Pipi Ratih

Hujan belum juga reda. Tetesan air masih turun ke bumi sambil menari-nari tanpa irama. Sesekali deru motor yang lewat menyelingi kesenyapan di ruangan itu. Ratih masih termenung di kursinya, menghadap ke dinding yang penuh tempelan kata-kata penyemangat, warna-warni. Matanya mengisyaratkan banyak hal berseliweran di otaknya. Televisi di ruang tengah, yang sedang menayangkan acara jalan-jalan ke tempat mistis, hanya terdengar sayup-sayup. Sejak menjelang Isya, hujan terus mengguyur Kota Kembang, semburat kemerahan sisa senja langsung digantikan gumpalan awan kelabu yang bergerak pelan beriringan, membawa sedikit keberkahan dari yang Maha Kuasa.



Sejenak Ratih teringat pada perutnya yang kosong, karena sejak subuh tadi belum terisi apa-apa selain segelas teh hangat untuk berbuka puasa. Bisa saja tadi dia membeli sesuatu untuk dimakan, tapi hujan malam ini memberatkan kakinya untuk sekedar melangkah keluar ke ujung jalan, tempat beberapa kaki lima mangkal. Sembari memandang draft skripsinya dengan malas, dia dikejutkan oleh ringtone smartphone miliknya. Sebuah pesan singkat masuk, dan yang lebih mengagetkan lagi adalah nama pengirimnya.

------ Asslmkum. . . Mf ganggu malam2, ad kbr pnting, ayahku tiba2 menyinggung soal kmu, klo kmu ad wkt, bsok/lusa berkunjunglah kemari, RS Harapan R. Anggrek IVA. Trims. Andi.-------

Nomor itu buru-buru dicek di memory ponselnya yang jadul, dan benar itu milik Andi, nomor yang sama dengan yang pernah di-save nya dulu, tepatnya enam tahun lalu. Sekarang yang menjadi pikiran adalah isi pesan singkat itu, berkunjung? Serius? Bertemu ayahnya? Permintaan Andi sama saja ibarat menyuruh anak ayam untuk berenang, tidak mungkin mampu! Ratih tak akan kuat menyibak perasaan itu kembali. Tapi, benarkah situasinya segenting itu? Ah!!

Ditutupnya draft skripsi yang penuh coretan dosennya itu, lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur, agak meringis juga karena lupa kasur kostnya tak seempuk di rumahnya. Seraya memandangi pesan singkat tadi, pikirannya melayang ke potongan-potongan kejadian di masa silam. Masa yang meninggalkan penyiksaan tersendiri di salah satu sudut hatinya.

***


“Eh, dik Ratih, sore ini kita jadi kan? Kamu udah izin belom?” Andi menghampiri tempat duduk Ratih dengan canggung. Beberapa anak memandanginya dengan menempelkan telunjuk di depan mulut sambil cekikikan.

“Iya kak, Mamaku bilang boleh kok, tapi jangan pulang malem, soalnya jam delapan Mama udah tidur dan takut nggak ada yang bukain gerbang.” Ratih menjawab santai.

“Yaudah, nggak masalah, aku jemput habis Ashar ya, awas jangan ketiduran, hehe.” Ekspresi Andi sedikit tegang, bukan karena grogi atau takut salah tingkah. Justru saat itu dia sendiri belum mendapat izin, gampanglah nanti tinggal cari alasan ada futsal bareng atau les atau apalah, pikirnya, sambil berjalan keluar dari kelas Ratih. Tak mudah bagi Andi untuk meyakinkan orang tuanya, bahwa dia bisa menjaga diri jika keluar malam. Sedangkan Ratih dengan begitu mudahnya hanya dengan syarat tidak pulang kemalaman.

Terkadang dalam suatu momen, yang paling penting bukanlah melakukan apa, tapi dengan siapa. Walaupun hanya sekedar menonton film di bioskop, bagi Andi itu sudah cukup memuaskan hatinya untuk bisa menghabiskan waktu bersama Ratih, yang notabene adalah tetangganya sendiri.

“Aku suka banget, bikin ngakak parah, nggak nyangka bakal selucu itu, pantesan tanteku heboh banget bisa ketemu di Mall dan foto bareng sama doi.” Ratih langsung berceloteh begitu lampu bioskop dinyalakan lagi. Menggemaskan melihat wajah cantik Ratih kalau sedang bercerita, terasa sangat kontras dibalik tingkahnya yang terkenal kalem.

“Tau nggak, katanya semester depan doi bakal ngisi Stand up Comedy di acara ulang tahun SMA kita! Kakak pasti nyesel nggak bisa nonton!! Baru denger-denger sih, semoga saja beneran, bakal rame banget pasti..!!” Andi tersenyum kecut, sadar dirinya bakal segera keluar dari SMA itu.

“Oh ya kak, nanti mampir beli obat buat Mama dulu ya, di apotek lantai bawah itu kayaknya ada.”

“Oke. Mamamu lagi sakit apa emang?” sahut Andi sambil beranjak dari kursinya, mengikuti Ratih yang sudah meniti tangga untuk turun ke pintu keluar. Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong bioskop yang tembus ke lantai atas Mall.

“Aku belom cerita ya kak? Mamaku itu sudah lama sakitnya, dia.......”

“Andi??!” suara berat khas orangtua yang umurnya lebih dari separuh abad, mengejutkan Andi dan Ratih. Begitu menoleh, keringat dingin langsung menyergap Andi. Ratih hanya diam, tidak melanjutkan celotehnya, tapi masih santai.

“Eh, ayah? Sss. . sssama siapa yah?” jawab Andi gemetar, mencoba menguasai keadaan.

“Ibumu bilang kamu pamit mau futsal di tempat biasa, nyatanya malah di sini jalan-jalan sama cewek, ayo pulang!” Ayah Andi dengan tegas meraih bahu Andi, lalu berbalik menggiring Andi pulang, mendorong paksa.

Ratih melongo, sama sekali tak menyangka bakal ada adegan seperti itu terjadi di hadapannya, matanya mengerjap kaku, memperlihatkan ayunan bulu matanya yang lentik. Setelah berpikir sesaat, dia menghembuskan napas berat, memutuskan melanjutkan tanpa ditemani Andi, membeli obat untuk Mamanya, lalu pulang dengan jalan kaki, sendiri. Barangkali Andi memang keterlaluan bohongnya sehingga membuat ayahnya sampai semarah itu.

Terlahir dari keluarga yang sederhana, Ratih tinggal bersama Mamanya. Papanya bekerja di pelayaran dan lebih sering keliling Indonesia daripada pulang ke rumah. Tapi Ratih dilatih untuk mandiri, membantu pekerjaan Mamanya, dan bergaul dengan siapa saja. Sangat berbeda dengan Andi.

Ratih sangat senang bisa dekat dengan Andi, terlepas dari sikap Andi yang agak dingin, tapi nyaman bagi Ratih. Bisa dibilang rasa suka itu mulai tumbuh, yang belakangan mereka sadari rasa itu masih tetap ada walau bagaimanapun keadaannya. Hubungan mereka sebatas teman curhat. Di samping tak mau disebut pacaran, juga karena Ratih sangat segan dengan keluarga Andi.

***


Ratih membalikkan badan, dadanya mulai sesak karena terlalu lama tengkurap. Matanya sekarang tertuju pada langit-langit kamar, yang seolah menjadi layar bagi rekaman masa lalu itu. Kantuk mulai menyerang ketika ingatannya memutar kembali hari dimana Andi berangkat ke Ibukota, melanjutkan studinya di sana. Padahal hanya sekedar pamitan, tapi lagi-lagi ayah Andi memergoki mereka di depan gerbang, dan berkata kasar pada Ratih, “. . . Jangan dekati Andi lagi!!. . . .”.

Bukan momen sedih seperti itu yang diharapkan Ratih, bukannya senyuman haru malah isak tangis yang teramat sakit. Ratih menghamburkan diri ke pelukan Mamanya, menceritakan semuanya, dan baru pertama itu dia curhat sambil menangis. Seolah ketegaran yang diajarkan Mamanya selama ini runtuh dalam sekejap. “Sudah nduk, kamu ndak usah sedih gitu, memang kamunya juga yang salah, keluarga Andi kan memang paling terhormat di sini. . .”

----- Dik Ratih, mf ats kjdian td, mhon dimfkan y. ----- pesan singkat Andi setelah kejadian itu, sekaligus pesan singkat terakhirnya selama bertahun-tahun.

Ratih bernapas semakin pelan, genggaman di smartphonenya mulai melemah. Dan sampai dia tertidur pun, hujan belum mulai mereda.

***


Sepeninggal Andi, ada yang berubah dari Ratih. Dia selalu diam ketika teman-teman dekatnya menanyakan kabar hubungannya dengan Andi. Tak ayal gosip pun banyak beredar, yang semuanya ditepis tegas oleh Ratih. Dia tak mau kejadian itu sampai terdengar ke telinga temannya. Memang selama ini tak ada gadis di sekolahnya yang berhasil mendekati Andi. Kesederhanaan Ratih yang membuat seorang Andi klepek-klepek, menjadi berita paling fenomenal kala itu.

Mamanya tak tahu kalau sekarang setiap pulang sekolah, Ratih lebih memilih jalan memutar daripada harus melewati depan rumah Andi. Maklum, Mamanya jarang sekali keluar rumah, aktivitasnya terbatas akibat batuk menahun yang dideritanya. Melihat pembantu rumah Andi saja, sudah membuat nyali Ratih menciut.

Ketika sudah menjadi mahasiswi, Ratih sempat bertanya-tanya, kenapa dulu Andi tak mencoba menjelaskan semuanya di depan Ayahnya? Mungkin sedikit pembelaan dari Andi saja sudah cukup melindungi harga dirinya. Apakah sampai sekarang Andi cuma diam saja? Pertanyaan tak terjawab itu mulai menimbulkan kebencian di dalam hari Ratih. Sosok Andi yang tulus dan selalu baik, terpaksa menjadi kambing hitam atas kekecewaannya.

Pernah sekali Ratih protes pada Mamanya, dengan lembut Mamanya menjawab, “Kamu ini kenapa sih nduk, yang dulu-dulu masih saja dipikirkan. Coba kalau kamu di posisi Andi, Mama nggak yakin kamu bisa melakukan itu. . .“. Beruntung sekali Ratih punya Mama yang pengertian, penuh kasih sayang, dan tahu bagaimana menenangkan anak satu-satunya itu.

Salah satu nasihat terakhir Mamanya, “Nduk, Mama tak melarang kamu punya teman dekat, kamu sudah gedhe sekarang, tapi selalu ingat nasihat Mama tentang Bibit, Bebet, Bobot. . . .”. Tanpa sadar, nasihat itulah yang membuat Ratih mengesampingkan semua teman laki-laki yang pernah mendekatinya selama di kampus. Tuhan memang mudah membolak-balikkan hati hamba-Nya, begitu pula dengan takdir, yang juga mutlak bagian Kuasa-Nya.

***


Keheningan masih memenuhi ruangan itu. Ratih menyeka keringat di keningnya dengan tisu, sisa kepanasan di bus tadi, sambil membetulkan kerudungnya yang sebenarnya sudah rapi. Suasana kaku masih terasa oleh semua orang yang ada di situ. Andi yang duduk di seberang ranjang ayahnya, terkesan menunggu sesuatu, sambil menggetarkan tumitnya naik-turun.

Banyak kejadian mendadak belakangan ini, ayahnya yang tiba-tiba pulih dari alzheimernya yang parah, dan Ratih yang tak disangka bakal mau memenuhi permintaanya untuk berkunjung. Ayah Andi terbaring lemas, baju tipisnya terlihat melekat dengan kulitnya yang sudah sempurna mengeriput. Matanya berkedip, lalu melirik ke arah Ratih duduk.

“Kami turut berduka atas meninggalnya Mamamu.” Ratih tersentak, dia baru sadar bahwa kalimat itu ditujukan untuk dirinya. Suara parau itu mengundang iba bagi siapa saja yang mendengarnya.

“Sepertinya waktu itu saya sudah sakit, tak bisa mencerna berita apapun, bahkan lokasi rumah sendiri pun tidak hafal.” Ayah Andi melanjutkan. Ibu Andi berjalan mendekati meja di sebelah Ratih, menaruh secangkir teh hangat dan mempersilakannya kepada Ratih, lalu duduk di sebelahnya.

“Entah kenapa, tiba-tiba saya bisa ingat beberapa hal di masa lalu.” Napasnya tersengal, lalu mengambil satu tarikan, bersiap untuk kalimat yang panjang. Ratih menyesap sedikit teh hangat itu, sekedar menghargai tuan rumah, lalu meletakkan lagi cangkirnya dengan pelan, dentingnya kedengaran samar.

“Andi sering bercerita pada Ibunya, tentang nak Ratih, bahkan sampai dia lulus sarjana dan diterima di perusahaan IT yang terkenal itu. Dia mendapatkan cita-citanya. Astaga, gimana kuliahmu nak Ratih? Kabarnya kamu sedang menyelesaikan skripsimu? Berapa lama lagi?”

“Emm, Insya Allah sebulan lagi, kalau lancar, Pak. . . “ dengan nada takut-takut dan tertunduk, Ratih terpaksa menjawab.

“Baguslah, kata Andi, kamu orang yang rajin dan bersemangat, semoga semuanya lancar.” Ratih mengamini lirih. Dari tadi matanya tak bisa fokus, sesekali melirik Andi yang berada di seberangnya, malu-malu.

“Saya tak bisa berhenti menyesal, atas sikap orang tua ini kepadamu nak, dulu. Tentu kau masih ingat.” Bayang-bayang semalam, kembali hadir di depan Ratih. “Nak Ratih mungkin tak bisa lupa, tapi orang tua ini sangat mengharapkan keikhlasan nak Ratih, memaafkan.” Ada jeda panjang, sebelum Ratih memutuskan untuk mengangguk pelan. Ibu Andi tersenyum haru melihat respon Ratih.

“Saya tahu nak Ratih orangnya baik, dan rasanya Andi memang menyukai orang yang tepat. Saya berharap nak Ratih tak keberatan, kalau setelah nak Ratih lulus, saya melamar nak Ratih untuk Andi.” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Ayah Andi yang kering, menyebabkan semua jantung di ruangan itu berdegub kencang, menanti apa yang terjadi selanjutnya. Kali ini Andi memberanikan diri menatap Ratih.

“Maaf pak, maksud bapak?” Ratih bingung, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

“Iya nak, selagi orang tua ini masih ingat. Mungkin kalau besok-besok mengatakannya, orang tua ini sudah tak ingat lagi wajah, bahkan namamu.” Sahutnya, dengan terpejam dan meringis, menyiratkan keikhlasan untuk menerima bahwa sekarang hidupnya tak lagi berdaya.

Segaris air mata, menyembul dari sudut mata Ratih. Ibu Andi yang melihatnya, menggenggam tangan Ratih yang dingin, sambil berharap ada tanda persetujuan darinya. Andi hanya bisa termenung menyaksikan itu.

***


Senja mulai menghiasi langit Kota Atlas, ketika dua orang berdiri di atas balkon ruang VIP sebuah rumah sakit. Yang satu adalah Andi, badannya yang agak kurus tapi tegap berwibawa, dengan rambut yang selalu rapi dan jam tangan perak melingkar di pergelangan tangan kirinya. Walaupun hanya memakai kaos berkerah, namun tak mengurangi kesan mempesona seorang pria muda yang mapan. Sekilas sangat berbeda dengan Andi enam tahun lalu. Sedangkan di sebelahnya, dengan setinggi bahu Andi, gadis dengan balutan celana bahan dan kemeja panjang yang sederhana, namun dilihat dari gesturenya memancarkan ketenangan, kesejukan.

“Sejujurnya aku nggak ngerti dik, semua ini terjadi begitu cepat, ayahku ingat, dik Ratih datang, dan ayah ngomong kayak gitu.”

“Memang udah takdirnya mas, aku jadi inget Mama. Mama selalu bijak jika hal-hal seperti itu terjadi.”

“Mamamu memang hebat, dik.” gumam Andi lirih, matanya memicing terkena silaunya matahari yang nyaris terbenam. Selama beberapa detik, angin dibiarkan menghembus, melewati jarak antar lengan mereka yang cuma sekian senti.

“Jadi bagaimana, apakah komedian itu jadi mengisi acara di sekolah kita?” dengan nada enteng, Andi mulai mencoba mengalihkan suasana. Ratih membalas tatapan Andi, dengan raut muka yang sangat berbeda seharian itu.

Sore itu, tak pasti apakah hujan akan mengguyur bumi ini lagi. Namun semburat kemerahan khas senja, tak hilang begitu saja ditelan langit gelap, tapi kali ini berpindah mewarnai wajah Ratih, tepat pada kedua pipinya, merona, menyisakan kelegaan, mengembang di setiap senyumnya.

No comments:

Powered by Blogger.